Perang Salib Pertama
Perang Salib Pertama dilancarkan pada 1095 oleh Paus Urban II untuk merebut kembali kota suci Yerusalem dan tanah suci Kristen dari penaklukan Muslim. Apa yang dimulai sebagai panggilan kecil untuk meminta bantuan dengan cepat berubah menjadi migrasi dan penaklukan keseluruhan wilayah di luar Eropa.
Baik
ksatria
dan orang awam dari banyak negara di Eropa
Barat, dengan sedikit pimpinan terpusat, berjalan
melalui tanah dan laut menuju Yerusalem dan menguasai kota tersebut
pada Juli 1099,
mendirikan Kerajaan
Yerusalem atau kerajaan Latin di Yerusalem. Meskipun
penguasaan ini hanya berakhir kurang dari dua ratus tahun, Perang
salib merupakan titik balik penguasaan dunia
Barat, dan satu-satunya yang berhasil meraih
tujuannya.
Latar belakang
Meskipun menjelang abad kesebelas
sebagian besar Eropa memeluk agama Kristen secara formal — setiap
anak dipermandikan, hierarki gereja telah ada untuk menempatkan
setiap orang percaya di bawah bimbingan pastoral, pernikahan
dilangsungkan di Gereja, dan orang yang sekarat menerima ritual
gereja terakhir.
Pada tahun 1088,
seorang Perancis
bernama Urbanus II menjadi Paus. Kepausannya itu ditandai dengan
pertikaian raja Jerman, Henry
IV — kelanjutan kebijakan pembaruan oleh Paus
Gregorius VIII yang tidak menghasilkan apa-apa. Paus
yang baru ini tidak ingin meneruskan pertikaian ini. Tetapi ia ingin
menyatukan semua kerajaan Kristen. Ketika Kaisar
Alexis dari Konstantinopel meminta bantuan Paus
melawan orang-orang Muslim
Turki, Urbanus melihat bahwa adanya musuh bersama ini
akan membantu mencapai tujuannya.
Tidak masalah meskipun Paus telah
mengucilkan patriark
Konstantinopel, serta Katolik dan Kristen Ortodoks
Timor tidak lagi merupakan satu gereja. Urbanus mencari jalan untuk
menguasai Timur, sementara ia menemukan cara pengalihan bagi para
pangeran Barat yang bertengkar terus.
Pada tahun 1095
Urbanus mengadakan Konsili Clermont. Di sana ia menyampaikan
kotbahnya yang menggerakkan: "Telah tersebar sebuah cerita
mengerikan ... sebuah golongan terkutuk yang sama sekali diasingkan
Allah ... telah menyerang tanah (negara) orang Kristen dan memerangi
penduduk setempat dengan pedang, menjarah dan membakar." Ia
berseru: "Pisahkanlah daerah itu dari tangan bangsa yang jahat
itu dan jadikanlah sebagai milikmu."
"Deus vult! Deus vult! (Allah
menghendakinya)," teriak para peserta. Ungkapan itu telah
menjadi slogan perang pasukan Perang
Salib. Ketika para utusan Paus melintasi Eropa,
merekrut para ksatria untuk pergi ke Palestina,
mereka mendapatkan respons antusias dari pejuang-pejuang Perancis
dan Italia.
Banyak di antaranya tersentak karena tujuan agamawi, tetapi tidak
diragukan juga bahwa yang lain berangkat untuk keuntungan ekonomi.
Ada juga yang ingin berpetualang merampas kembali tanah peziarahan
di Palestina, yang telah jatuh ke tangan Muslim.
Mungkin, para pejuang tersebut merasa
bahwa membunuh seorang musuh non-Kristen adalah kebajikan. Membabat
orang-orang kafir yang telah merampas tanah suci orang Kristen
tampaknya seperti tindakan melayani Allah.
Untuk mendorong tentara Perang Salib,
Urbanus dan para paus yang mengikutinya menekankan "keuntungan"
spiritual dari perang melawan orang-orang Muslim itu. Dari sebuah
halaman Bible, Urbanus meyakinkan para pejuang itu bahwa dengan
melakukan perbuatan ini, mereka akan langsung masuk surga, atau
sekurang-kurangnya dapat memperpendek waktu di api
penyucian.
Dalam perjalanannya menuju tanah suci,
para tentara Perang Salib berhenti di Konstantinopel. Selama mereka
ada di sana, hanya satu hal yang ditunjukkan: Persatuan antara Timur
dan Barat masih mustahil. Sang kaisar melihat para prajurit yang
berpakaian besi itu sebagai ancaman bagi takhtanya. Ketika para
tentara Perang Salib mengetahui bahwa Alexis telah membuat
perjanjian dengan orang-orang Turki, mereka merasakan bahwa
"pengkhianat" ini telah menggagalkan bagian pertama misi
mereka: menghalau orang-orang Turki dari Konstantinopel.
Dengan bekal dari sang kaisar, pasukan
tersebut melanjutkan perjalanannya ke selatan dan timur, menduduki
kota-kota Antiokhia
dan Yerusalem.
Banjir darah mengikuti kemenangan mereka di Kota Suci itu. Taktik
para tentara Perang Salib ialah "tidak membawa tawanan".
Seorang pengamat yang merestui tindakan tersebut menulis bahwa para
prajurit "menunggang kuda mereka dalam darah yang tingginya
mencapai tali kekang kuda".
Setelah mendirikan kerajaan
Latin di Yerusalem, dan dengan mengangkat Godfrey
dari Bouillon sebagai penguasanya, mereka berubah
sikap, dari penyerangan ke pertahanan. Mereka mulai membangun
benteng-benteng baru, yang hingga kini, sebagian darinya masih
terlihat.
Pada tahun-tahun berikutnya,
terbentuklah ordo-ordo baru yang bersifat setengah militer dan
setengah keagamaan. Ordo paling terkenal adalah Ordo
Bait Allah (bahasa
Inggris: Knights Templars) dan Ordo
Rumah Sakit (bahasa
Inggris: Knights Hospitalers). Meskipun pada
awalnya dibentuk untuk membantu para tentara Perang Salib, mereka
menjadi organisasi militer yang tangguh dan berdiri sendiri.
Perang Salib pertama merupakan yang
paling sukses. Meskipun agak dramatis dan bersemangat, berbagai
upaya kemiliteran ini tidak menahan orang-orang Muslim secara
efektif.
Perang Salib Kedua
Tanggal |
1145-1149 |
---|---|
Lokasi |
Semenanjung
Iberia, Timur
Dekat (Anatolia,
Levant,
Palestina),
Mesir |
Hasil |
Kegagalan mendirikan kembali Edessa. Meningkatnya pertempuran
antara negara-negara Tentara Salib dan kekaisaran Muslim.
Penaklukan Lisbon oleh Portugis, jatuhnya Murabitun, dan
bangkitnya Muwahidun. Traktat perdamaian antara Kekaisaran
Bizantium dan Seljuk. Meningkatnya ketegangan antara Kekaisaran
Bizantium dan Tentara Salib. Dimulainya serangan Tentara Salib ke
Mesir. |
Perubahan wilayah |
Status
quo ante bellum |
Perang Salib Kedua (1145–1149)
adalah Perang
Salib kedua yang dilancarkan dari Eropa. Perang ini
terjadi akibat jatuhnya County
Edessa pada tahun sebelumnya. Edessa adalah
negara-negara
Tentara Salib yang pertama kali didirikan selama
Perang
Salib Pertama (1095–1099),
dan juga negara yang pertama kali runtuh. Perang Salib Kedua
diumumkan oleh Paus
Eugenius III, dan merupakan Perang Salib pertama yang
dipimpin oleh raja-raja Eropa, seperti Louis
VII dari Perancis dan Conrad
III dari Jerman, dengan bantuan dari
bangsawan-bangsawan Eropa penting lainnya. Pasukan-pasukan kedua raja
tersebut bergerak menyebrangi Eropa secara terpisah dan sedikit
terhalang oleh kaisar Bizantium,
Manuel
I Comnenus; setelah melewati teritori Bizantium
ke dalam Anatolia,
pasukan-pasukan kedua raja tersebut dapat ditaklukan oleh bangsa
Seljuk.
Louis, Conrad, dan sisa dari pasukannya berhasil mencapai Yerusalem
dan melakukan serangan yang "keliru" ke Damaskus
pada tahun 1148. Perang Salib di Timur gagal dan merupakan kemenangan
besar bagi pihak Muslim.
Kegagalan ini menyebabkan jatuhnya
kota Yerusalem dan Perang
Salib Ketiga pada akhir abad ke-12.
Serangan-serangan yang berhasil hanya
terjadi di luar laut
Tengah. Bangsa Flem, Frisia, Normandia, Inggris,
Skotlandia, dan beberapa tentara salib Jerman, melakukan perjalanan
menuju Tanah Suci dengan kapal. Mereka berhenti dan membantu bangsa
Portugis merebut
Lisboa tahun 1147.
Beberapa di antara mereka, yang telah berangkat lebih awal, membantu
merebut Santarém
pada tahun yang sama. Mereka juga membantu menguasai Sintra,
Almada,
Palmela
dan Setúbal,
dan dipersilakan untuk tinggal di tanah yang telah ditaklukan, tempat
mereka mendapatkan keturunan. Sementara itu, di Eropa
Timur, Perang
Salib Utara dimulai dengan usaha untuk merubah
orang-orang yang menganut paganisme
menjadi beragama Kristen, dan mereka harus berjuang selama
berabad-abad.
Setelah terjadinya Perang
Salib Pertama dan Perang
Salib 1101, terdapat tiga negara tentara salib yang
didirikan di timur: Kerajaan
Yerusalem, Kerajaan
Antiokhia, dan County
Edessa. County
Tripoli didirikan pada tahun 1109. Edessa adalah
negara yang secara geografis terletak paling utara dari keempat
negara ini, dan juga merupakan negara yang paling lemah dan memiliki
populasi yang kecil; oleh sebab itu, daerah ini sering diserang oleh
negara Muslim yang dikuasai oleh Ortoqid,
Danishmend,
dan Seljuk.
Baldwin
II dan Joscelin
dari Courtenay ditangkap akibat kekalahan mereka dalam
pertempuran
Harran tahun 1104. Baldwin dan Joscelin ditangkap
kedua kalinya pada tahun 1122, dan meskipun Edessa kembali pulih
setelah pertempuran
Azaz pada tahun 1125, Joscelin dibunuh dalam
pertempuran pada tahun 1131. Penerusnya, Joscelin
II, dipaksa untuk bersekutu dengan kekaisaran
Bizantium,
namun, pada tahun 1143, baik kaisar kekaisaran Bizantium, John
II Comnenus dan raja Yerusalem Fulk
dari Anjou, meninggal dunia. Joscelin juga bertengkar
dengan Raja
Tripoli dan Pangeran
Antiokhia, yang menyebabkan Edessa tidak memiliki
sekutu yang kuat.
Sementara itu, Zengi,
Atabeg
dari Mosul,
merebut Aleppo
pada tahun 1128. Aleppo merupakan kunci kekuatan di Suriah.
Baik Zengi dan raja Baldwin II mengubah perhatian mereka ke arah
Damaskus; Baldwin dapat ditaklukan di luar kota pada tahun 1129.
Damaskus yang dikuasai oleh Dinasti
Burid, nantinya bersekutu dengan raja Fulk ketika
Zengi mengepung kota Damaskus pada tahun 1139 dan tahun 1140; aliansi
dinegosiasikan oleh penulis kronik Usamah
ibn Munqidh.
Pada akhir tahun 1144, Joscelin II
bersekutu dengan Ortoqid dan menyerang Edessa
dengan hampir seluruh pasukannya untuk membantu Ortoqid Kara
Aslan melawan Aleppo.
Zengi, yang ingin mengambil keuntungan dalam kematian Fulk pada tahun
1143, dengan cepat bergerak ke utara untuk mengepung
Edessa, yang akhirnya jatuh ketangannya setelah 1
bulan pada tanggal 24
Desember 1144.
Manasses
dari Hierges, Philip
dari Milly dan lainnya dikirim ke Yerusalem untuk
membantu, tetapi mereka sudah terlambat. Joscelin II terus menguasai
sisa Turbessel,
tetapi sedikit demi sedikit sisa daerah tersebut direbut atau dijual
kepada Bizantium. Zengi sendiri memuji Islam sebagai "pelindung
kepercayaan" dan al-Malik al-Mansur, "raja yang
berjaya". Ia tidak menyerang sisa teritori Edessa, atau kerajaan
Antiokhia, seperti yang telah ditakuti; peristiwa di Mosul memaksanya
untuk pulang, dan ia sekali lagi mengamati Damaskus. Namun, ia
dibunuh oleh seorang budak pada tahun 1146 dan digantikan di Aleppo
oleh anaknya, Nuruddin.[3]
Joscelin berusaha untuk merebut kembali Edessa dengan terbunuhnya
Zengi, tapi Nuruddin dapat mengalahkannya pada November 1146.
Berita jatuhnya Edessa diberitakan oleh
para peziarah pada awal tahun 1145, lalu kemudian oleh duta besar
dari Antiokhia,
Yerusalem
dan Armenia. Uskup Hugh
dari Jabala melaporkan berita ini kepada Paus
Eugenius III, yang menerbitkan bula
kepausan Quantum
praedecessores pada tanggal 1
Desember 1145,
yang memerintahkan dilaksanakannya Perang Salib Kedua. Hugh juga
memberitahu Paus bahwa seorang raja Kristen timur diharapkan akan
memberi pertolongan kepada negara-negara tentara salib: ini merupakan
penyebutan Prester
John yang pertama kali didokumentasikan. Eugenius
tidak menguasai Roma dan tinggal di Viterbo,
namun demikian, perang salib diartikan untuk lebih mengatur dan
menguasai daripada Perang Salib Pertama: beberapa pendeta akan
diterima oleh paus, angkatan bersenjata akan dipimpin oleh raja-raja
terkuat dari Eropa, dan rute penyerangan akan direncanakan. Tanggapan
terhadap bula kepausan perang salib sedikit, dan harus dikeluarkan
kembali saat Louis VII akan mengambil bagian dalam ekspedisi. Louis
VII dari Perancis juga telah memikirkan ekspedisi baru
tanpa campur tangan Paus, di mana ia mengumumkan kepada istanannya di
Bourges pada tahun 1145. Hal ini diperdebatkan saat Louis
merencanakan perang salibnya sendiri, saat ia hendak memenuhi
janjinya kepada saudaranya, Phillip, bahwa ia akan pergi ke Tanah
Suci, di mana ia akhirnya dihentikan oleh kematian. Mungkin Louis
memilih pilihannya dengan bebas dengan mendengar tentang Quantum
Praedecessores. Dalam beberapa hal, Kepala
Biara Suger dan bangsawan lainnya tidak senang dengan
rencana Louis, di mana ia akan pergi dari kerajaan selama beberapa
tahun. Louis berkonsultasi dengan Bernard
dari Clairvaux, yang menyuruhnya menemui kembali ke
Eugenius. Kini Louis telah mendengar tentang bula kepausan, dan
Eugenius dengan penuh semangat mendukung perang salib Louis. Bula
kepausan dikeluarkan kembali pada tanggal 1
Maret 1146,
dan Paus Eugenius memberikan kekuasaan kepada Bernard untuk
berceramah di Perancis.
Paus memerintahkan Bernard untuk mengkhotbahkan Perang Salib Kedua
dan memberikan indulgensi yang sama untuk itu sebagaimana diberikan
oleh Paus
Urbanus II untuk Perang
Salib Pertama.[5]
Parlemen diundang di Vézelay,
Burgundia
tahun 1146, dan Bernard berkhotbah dihadapan dewan. Louis
VII dari Perancis, istri Louis Aliénor
dari Aquitania, pangeran dan pemimpin-pemimpin hadir
dan tiarap dibawah kaki Bernard untuk menerima salib peziarah. Conrad
III dari Jerman dan keponakannya Frederick
Barbarossa, menerima salib dari tangan Bernard.[6]
Paus Eugenius sendiri datang ke Perancis untuk menyemangati. Bernard
kemudian menuju ke Jerman, dan mukjizat-mukjizat dilaporkan semakin
lama semakin banyak hampir di setiap langkahnya yang menandai
keberhasilan misinya.
Walaupun
semangatnya meluap-luap, namun pada dasarnya Bernard bukanlah seorang
fanatik maupun penganiaya. Seperti pada Perang Salib Pertama,
khotbahnya dengan tidak sengaja menyebabkan serangan terhadap orang
Yahudi;
pendeta fanatik Perancis yang bernama Rudolf menyebabkan pembantaian
Yahudi di Rhineland, Cologne,
Mainz,
Worms,
dan Speyer,
dengan Rudolf menyatakan Yahudi tidak membantu secara finansial untuk
menyelamatkan Tanah Suci. Bernard menentang serangan tersebut dan
berkelana dari Flander ke Jerman untuk menyelesaikan masalah dan
menenangkan massa. Bernard lalu bertemu Rudolf di Mainz dan berhasil
membuatnya diam, lalu mengembalikannya ke biara.
Ketika Perang Salib
Kedua dipanggil, banyak orang Jerman
Selatan yang menjadi sukarelawan perang.
Orang Jerman
Utara tidak mau mengikutinya. Pada
pertemuan Reichstag
di Frankfurt
tanggal 13 Maret
1147,
mereka memberitahu Santo Bernard bahwa mereka lebih ingin berperang
melawan bangsa Slavia. Paus Eugenius menerima rencana Sachsen dan
mengeluarkan bula kepausan
Divina
dispensatione pada 13
April. Bula Kepausan ini menyatakan bahwa
tidak ada perbedaan nilai spiritual yang didapat dalam masing-masing
perang salib. Orang yang menjadi sukarelawan melawan bangsa Slavia
adalah bangsa Denmark,
Sachsen,
dan Polandia,[8]
dan juga terdapat bangsa Bohemia.[9]
Wakil
Paus, Anselm
dari Havelberg, diberi wewenang untuk
memegang kekuasaan secara keseluruhan. Kampanye itu sendiri dipimpin
oleh keluarga Sachsen seperti Ascania,
Wettin,
dan Schauenburg.
Kecewa dengan parsitipasi Jerman dalam perang salib, Obotrit
menyerang Wagria pada Juni 1147, menyebabkan pergerakan tentara salib
pada akhir musim panas tahun 1147. Setelah mengeluarkan Obotrit dari
teritori Kristen, tentara salib menyerang benteng Obotrit di Dobin
dan benteng bangsa Liutizia
di Demmin.
Ketika beberapa tentara perang salib menganjurkan untuk menghancurkan
wilayah di luar kota, beberapa lainnya menolak, "Apakah itu
bukan tanah kita hingga kita hendak menghancurkannya, dan apakah
mereka bukan bangsa kita sehingga kita hendak bertarung lawan
mereka?"[11]
Pasukan Sachsen dibawah Henry si Singa mundur setelah kepala kaum
pagan Niklot
setuju untuk membaptis garnisiun Dobin. Setelah pengepungan Demmin
gagal, kontingen tentara salib dialihkan untuk menyerang Pomerania.
Mereka telah mencapai kota Kristen Stettin,
lalu sesudah itu tentara salib dibubarkan setelah bertemu Uskup
Albert
dari Pomerania dan Pangeran Ratibor
I dari Pomerania. Menurut Bernard dari Clairvaux,
tujuan perang salib ini adalah untuk melawan Slavia pagan "hingga
pada saatnya nanti, dengan pertolongan Tuhan, entah mereka akan
berpindah agama atau disingkirkan.".[12]
Namun, tentara salib gagal merubah agama kebanyakan Wend. Orang-orang
Sachsen mendapati kaum Slavia di Dobin berbondong-bondong kembali ke
kepercayaan pagan mereka ketika tentara Kristen dibubarkan, "Jika
mereka ingin agar Kekristenan mengakar kuat ... yang harus mereka
lakukan adalah menyebarkannya melalui pengajaran, bukan menggunakan
senjata."[13]
Pada
akhir perang salib, Mecklenburg
dan Pomerania mengalami penjarahan dan depopulasi akibat maraknya
pertumpahan darah, terutama oleh tentara Henry si Singa.[14]
Hal ini membantu membawa lebih banyak kemenangan Kristen di masa
depan. Penduduk Slavia kehilangan banyak metode produksi, membatasi
perlawanan mereka di masa depan
Pada musim semi tahun 1147, Paus mengatur ekspansi perang salib ke
semenanjung
Iberia. Ia memerintahkan Alfonso
VII dari León untuk menyamakan kampanyenya melawan
Moor dengan sisa Perang Salib Kedua.[16]
Pada Mei 1147, kontingen tentara salib pertama meninggalkan Dartmouth
di Inggris
menuju Tanah Suci. Cuaca buruk memaksa kapal mereka berhenti di kota
Porto
pada 16 Juni
1147.
Di sana mereka dibujuk untuk bertemu dengan Afonso
I dari Portugal.[17]
Tentara
salib setuju untuk membantu Afonso menyerang Lisbon. Pengepungan
Lisbon terjadi dari 1
Juli hingga 25
Oktober 1147.
Pada 25 Oktober, penguasa Moor
menyerah, terutama karena kelaparan. Kebanyakan tentara salib menetap
di kota yang baru direbut, tetapi beberapa dari mereka berlayar dan
meneruskan perjalanan ke Tanah Suci.
Di tempat lain di
semenanjung Iberia pada waktu yang hampir sama, Alfonso VII of León,
Ramon
Berenguer IV, dan lainnya memimpin tentara
salib Katalan
dan Perancis
melawan kota pelabuhan Almería
yang kaya. Dengan dukungan dari angkatan laut Genova-Pisa,
kota ini berhasil diduduki pada Oktober 1147.[18]
Ramon Berenger lalu menyerang wilayah Taifa
Murabitun
di Valencia
dan Murcia.
Pada Desember 1148, ia merebut Tortosa
setelah pengepungan selama lima bulan dengan bantuan tentara salib
Perancis dan Genova.[18]
Satu tahun kemudian, Fraga,
Lleida
dan Mequinenza
jatuh ke tangan pasukannya.
Joscelin
mencoba merebut kembali Edessa setelah pembunuhan Zengi, tetapi
Nuruddin menaklukannya pada November 1146. Pada 16
Februari 1147,
tentara salib Perancis bertemu di Étampes
untuk mendiskusikan rutem ereka. Jerman memilih untuk melewati
Hongaria
karena Roger
II, Raja Sisilia, adalah musuh dari Conrad
dan rute laut secara politis tidak praktis. Banyak bangsawan Perancis
tidak mempercayai jalur yang akan membawa mereka melalui Kekaisaran
Romawi Timur tersebut, yang memiliki sejarah buruk pada masa Perang
Salib Pertama. Meskipun demikian, akhirnya diputuskan untuk mengikuti
Conrad, dan direncanakan untuk berangkat pada 15 Juni. Roger II
merasa tersinggung dan menolak berpartisipasi lebih lanjut. Di
Perancis, Kepala
biara Suger dan William
II dari Nevers terpilih sebagai wali raja
sementara raja pergi mengikuti perang salib. Di Jerman, pengkhotbahan
lebih lanjut dilakukan oleh Adam
dari Ebrach dan Otto
dari Freising. Pada 13 Maret di Frankfurt,
putra Conrad, Frederick,
terpilih sebagai raja dibawah perwakilan Henry,
Uskup kepala Mainz. Jerman berencana untuk
pergi ke Tanah Suci pada hari Paskah,
tetapi mereka tidak pergi sampai bulan Mei
Tentara
Salib Jerman, tediri dari Franconia,
Bayern,
dan Swabia,
meninggalkan tanah air mereka pada Mei 1147. Ottokar
III dari Styria bergabung dengan Conrad di
Wina, dan
musuh Conrad, Geza
II dari Hongaria, akhirnya membiarkan
mereka lewat. Ketika 20.000 pasukan Jerman tiba di teritori
Bizantium,
Manuel takut mereka akan menyerang Bizantium, dan pasukan Bizantium
ditugaskan agar tidak terjadi masalah apapun. Terdapat pertempuran
kecil dengan beberapa orang Jerman yang tidak mau menurut di dekat
Philippopolis
dan di Adrianopel,
dimana jendral Bizantium, Prosouch, bertempur dengan keponakan
Conrad, yang nantinya akan menjadi kaisar, Frederick.
Lebih buruk lagi, beberapa pasukan Jerman tewas karena banjir pada
awal bulan September. Pada 10 September, mereka tiba di
Konstantinopel, dimana hubungandengan Manuel kurang baik dan orang
Jerman dipersilakan untuk menyebrang menuju Asia
Kecil secepat mungkin. Manuel ingin Conrad
meninggalkan beberapa pasukannya di belakang untuk membantunya
bertahan melawan serangan dari Roger II, yang telah mengambil
kesempatan untuk untuk merebut kota-kota di Yunani,
tapi Conrad menolak, walaupun ia adalah musuh dari Roger.
Tentara
Salib Perancis berangkat dari Metz
pada bulan Juni 1147, dipimpin oleh Louis, Thierry dari Elsas, Renaut
I dari Bar, Amadeus
III dari Savoy dan saudaranya William
V dari Montferrat, William VII dari
Auvergne,
dan lain-lain, bersama dengan pasukan Lorraine,
Bretagne,
Burgundi,
dan Aquitaine.
Pasukan dari Provence,
dipimpin oleh Alphonse dari Tolosa, memilih untuk menunggu sampai
bulan Agustus. Di Worms,
Louis bergabung dengan tentara salib dari Normandia
dan Inggris. Mereka mengikuti rute Conrad dengan damai, meskipun
Louis datang dalam konflik dengan Geza dari Hongaria sat Geza
menemukan Louis telah mempersilakan orang Hongaria untuk bergabung
dengan pasukannya
Sejak
negosiasi awal diantara Louis dan Manuel, Manuel telah menghentikan
kampanye militer melawan Kesultanan
Rüm dan menandatangani gencatan senjata
dengan Mas'ud.
Hal ini dilakukan sehingga Manuel dapat mengkonsentrasikan pertahanan
kekaisarannya dari tentara salib, yang memiliki reputasi buruk akibat
pencurian dan pengkhianatan sejak Perang
Salib Pertama. Mereka dituduh melakukan
hal yang jahat di Konstantinopel.
Hubungan Manuel dengan pasukan Perancis lebih baik daripada dengan
orang Jerman. Beberapa orang Perancis marah karena gencatan senjata
Manuel dengan Seljuk dan melakukan penyerangan di Konstantinopel,
tapi mereka dapat dikendalikan oleh Louis.
Ketika
pasukan dari Savoy, Auvergne,
dan Montferrat
bergabung dengan Louis di Konstantinopel dengan melewati Italia dan
menyebrang dari Brindisi
menuju Durres,
seluruh pasukan mereka menyebrangi Bosporus
menuju Asia Kecil
melalui kapal. Mereka disemangati oleh rumor bahwa Jerman telah
merebut Iconium,
tetapi Manuel menolak memberi Louis bantuan tentara Bizantium.
Bizantium baru saja diserang oleh Roger
II dari Sisilia, dan seluruh pasukan
Manuel dibutuhkan di Balkan. Baik Jerman dan Perancis memasuki Asia
tanpa bantuan Bizantium, tidak seperti pada Perang Salib Pertama.
Dalam tradisi yang dibuat oleh kakek dari Manuel, Alexios
I, Manuel menyuruh orang Perancis untuk
mengembalikan teritori manapun yang direbutnya kepada Bizantium
Pasukan
Perancis bertemu sisa dari pasukan Conrad di Nicea,
dan Conrad bergabung dengan pasukan Louis. Mereka mengikuti rute Otto
dari Freising, dan mereka tiba di Efesus
pada bulan Desember, dimana mereka mempelajari bahwa Turki Seljuk
mempersiapkan serangan terhadap mereka. Manuel juga mengirim duta
besar yang menyatakan keluhan mengenai penjarahan dan perampasan yang
dilakukan oleh Louis, dan tidak ada jaminan bahwa Bizantium akan
membantu mereka melawan Turki Seljuk. Setelah itu, Conrad jatuh sakit
dan kembali ke Konstantinopel, dimana Manuel memeriksanya. Louis
tidak mendengarkan peringatan mengenai serangan Seljuk dan lalu
bergerak keluar Efesus. Seljuk menunggu menyerang, tapi dalam
pertempuran kecil diluar Efesus.
Pasukan Perancis memenangkan perrtempuran tersebut
Mereka mencapai
Laodicea
pada Januari 1148,
hampir pada waktu yang sama setelah pasukan Otto dari Freising
dihancurkan di wilayah yang sama.[28]
Melanjutkan serangan, barisan depan dibawah Amadeus dari Savoy
terpisah dari sisa pasukan, dan pasukan Louis diikuti oleh Turki.
Pasukan Turki tidak mengganggu dengan menyerang lebih lanjut dan
pasukan Perancis bergerak menuju Adalia. Adalia telah dihancurkan
oleh Seljuk, dan juga telah dibakar agar pasukan Perancis tidak
mendapat makanan. Louis tidak lagi ingin bergerak melalui wilayah
demi wilayah, dan memilih untuk mengumpulkan armada di Adalia dan
berlabuh ke Antiokhia.[22]
Setelah terlambat selama 1 bulan karena badai, hampir semua kapal
yang dijanjikan tidak tiba. Louis dan koleganya mengambil kapal untuk
diri mereka sendiri, sementara sisa pasukan harus melanjutkan
perjalanan yang jauh ke Antiokhia. Pasukan itu hampir dihancurkan
seluruhnya, baik karena serangan Turki maupun karena sakit.
Perang Salib Ketiga
Perang Salib Ketiga (1189–1192),
juga dikenal sebagai Perang Salib Para Raja, adalah sebuah
perang yang dikobarkan para pemimpin Eropa
untuk mendapatkan kembali Tanah
Suci dari tangan Shalahudin
Al-Ayyubi dalam rangkaian Perang
Salib.
Setelah Perang
Salib Kedua, dinasti
Zengid yang berhasil mengontrol Suriah
terlibat dalam konflik dengan Mesir
pimpinan dinasti
Fatimiyah, yang berakhir dengan bersatunya Mesir dan
Suriah di bawah pimpinan Shalahudin
Al-Ayyubi. Shalahudin Al-Ayyubi kemudian menggunakan
kekuatannya untuk menaklukan Yerusalem pada tahun 1187.
Serangan salib ketiga ini dipimpin oleh tokoh-tokoh Eropa yang paling
terkenal: Friedrich
I Barbarosa dari Jerman,
Richard
I Lionheart dari Inggris
dan Phillip
II dari Perancis. Namun di antara mereka ini sendiri
terjadi perselisihan dan persaingan yang tidak sehat, sehingga
Friedrich mati tenggelam, Richard tertawan (akhirnya dibebaskan
setelah memberi tebusan yang mahal), sedang Phillip bergegas kembali
ke Perancis untuk merebut Inggris justru selama Richard tertawan.
Kegagalan
dari Perang Salib Ketiga lalu mengarah pada panggilan untuk Perang
Salib Keempat enam tahun setelah Perang
Salib Ketiga berakhir pada 1192.
Louis tiba di
Antiokhia pada tanggal 19 Maret,
setelah terlambat akibat badai; Amadeus dari Savoy meninggal di
Siprus
selama perjalanan. Louis disambut oleh paman dari Aliénor, Raymond.
Raymond mengharapkan ia membantunya bertahan melawan Seljuk dan
menemaninya dalam ekspedisi melawan Aleppo, tetapi Louis menolak. Ia
lebih memilih untuk menyelesaikan peziarahannya di Yerusalem daripada
fokus dalam aspek militer perang salib.[30]
Raymond ingin agar Aliénor, istri dari Louis, tetap berada di
belakang dan menceraikan Louis jika ia menolak membantunya. Louis
segera meninggalkan Antiokhia
menuju County Tripoli.
Sementara itu, Otto
dari Freising dan sisa pasukannya tiba di
Jerusalam pada awal bulan April, setelah itu Conrad segera
sampai.[31]
Fulk,
Patriark
dari Yerusalem, dikirim untuk mengundang
Louis bergabung dengan mereka. Armada yang berhenti di Lisbon tiba,
dan juga Provencal dibawah komando Aphonse dari Tolosa. Alphonse
sendiri tewas dalam perjalanan menuju Yerusalem karena diracuni oleh
Raymond
II dari Tripoli, keponakannya yang takut
akan aspirasi politiknya di Tripoli. Target utama tentara salib
adalah Edessa,
tetapi target yang lebih diutamakan oleh Raja
Baldwin III dan Ordo
Bait Allah adalah Damaskus
Kebangsawanan
Yerusalem menyambut datangnya pasukan dari Eropa, dan diumumkan bahwa
dewan harus melaksanakan pertemuan untuk menentukan target terbaik
tentara salib. Pertemuan berlangsung pada tanggal 24
Juni 1148.
Dewan Haute
Cour bertemu dengan tentara salib
dari Eropa di Palmarea, dekat kota Akko
(kota utama di Kerajaan
Yerusalem). Pertemuan ini adalah
pertemuan Cour yang paling mengagumkan.[32].
Tidak ada orang dari Antiokhia, Tripoli, atau bekas County Edessa
yang hadir. Baik Louis dan Conrad dibujuk untuk menyerang Damaskus
Beberapa
bangsawan (baron)
Yerusalem menunjuk bahwa menyerang Damaskus adalah tindakan yang
tidak bijaksana, karena Dinasti
Burid di Damaskus, meskipun
Muslim, adalah sekutu mereka melawan dinasti
Zengid. Conrad, Louis, dan
Baldwin bersikeras bahwa Damaskus adalah kota suci untuk Kekristenan.
Seperti Yerusalem dan Antiokhia, Damaskus akan menjadi hadiah yang
patut diperhatikan di mata Kristen Eropa. Pada bulan Juli, pasukan
mereka dikumpulkan di Tiberias
dan bergerak menuju Damaskus. Dari keseluruhan, terdapat sekitar
50.000 pasukan
Tentara Salib memilih untuk menyerang Damaskus dari barat, dimana
kebun buah akan memberi mereka makanan.[33]
Mereka tiba pada tanggal 23
Juli. Pasukan Muslim sudah siap untuk serangan
tersebut dan langsung menyerang pasukan yang bergerak melalui
perkebunan diluar Damaskus. Damaskus meminta bantuan dari Saifuddin
Ghazi I dari Aleppo
dan Nuruddin
Zengi dari Mosul.
Damaskus lalu menyerang perkemahan tentara salib. Tentara salib dapat
dipukul mundur dari tembok ke perkebunan, dimana mereka rentan
terhadap serangan gerilya.[30]
Menurut
William
dari Tirus, pada 27
Juli, tentara salib memilih untuk
bergerak ke bagian timur, yang lebih sedikit pertahanannya, tetapi
memiliki lebih sedikit makanan dan air.[33]
Nuruddin dan Saifuddin telah tiba. Dengan Nuruddin di lapangan,
sangat tidak mungkin untuk kembali ke posisi mereka yang lebih
baik.[30]
Pemimpin tentara salib lokal menolak untuk meneruskan pengepungan,
dan ketiga raja tidak memiliki pilihan selain meninggalkan kota.[33]
Pertama Conrad, lalu sisa pasukan, memilih untuk mundur kembali ke
Yerusalem pada 28 Juli. Ketika mundur, mereka diikuti oleh pemanah
Turki yang menyerang mereka.
Setiap
pihak Kristen merasa saling dikhianati satu sama lain.[33]
Rencana baru dibuat untuk menyerang Ascalon,
dan Conrad membawa pasukannya kesana, tapi tidak ada bantuan tiba,
karena kurangnya kepercayaan akibat kegagalan pengepungan Damaskus.
Ketidakpercayaan ini akan berkepanjangan akibat kekalahan mereka,
sehingga menghancurkan kerajaan Kristen di Tanah Suci. Setelah
ekspedisi Ascalon ditinggalkan, Conrad kembali ke Konstantinopel
untuk memperdalam aliansi dengan Manuel. Louis tetap berada di
Yerusalem sampai tahun 1149.
Bernard
dari Clairvaux juga dipermalukan oleh kekalahan ini.
Bernard meminta maaf kepada Paus. Menurutnya, dosa tentara salib
adalah akibat dari ketidakberuntungan dan kegagalan mereka. Ketika
usahanya untuk memanggil perang salib baru gagal, ia mencoba
memisahkan dirinya dari kegagalan Perang Salib Kedua.[36]
Ia meninggal dunia pada tahun 1153.
Perang
Salib Wend mencapai beberapa hasil. Sementara Sachsen menyatakan
Wagria dan Polabia sebagai jajahan mereka, pagan menguasai wilayah
Obodrit di sebelah timur Lübeck. Sachsen juga menerima upeti dari
Niklot, memungkinkan kolonisasi Keuskupan
Havelberg, dan membebaskan beberapa tahanan Denmark.
Namun, pemimpin Kristen yang berbeda memperlakukan pemimpin Kristen
lain dengan kecurigaan dan saling menuduh telah mensabotase kampanye.
Di Iberia, kampanye di Spanyol, bersama dengan pengepungan Lisbon,
merupakan satu-satunya kemenangan Kristen dalam Perang Salib Kedua.
Kampanye tersebut dianggap sebagai pertempuran penting dalam
Reconquista,
yang akan selesai pada tahun 1492.[19]
Serangan
terhadap Damaskus
membawa malapetaka kepada Yerusalem: Damaskus tidak lagi percaya
kepada Kerajaan Tentara Salib, dan kota itu diberikan kepada Nuruddin
tahun 1154.
Baldwin III akhirnya mengepung
Ascalon pada tahun 1153,
yang membawa Mesir
kedalam konflik ini. Yerusalem mampu memasuki Mesir dan merebut Kairo
pada tahun 1160.[37]
Namun, bantuan dari Eropa jarang datang setelah bencana dari Perang
Salib Kedua. Raja Amalric I
dari Yerusalem bersekutu dengan Bizantium dan berpartisipasi dalam
invasi Mesir tahun 1169,
tapi ekspedisi ini gagal. Pada tahun 1171,
Saladin,
keponakan dari salah satu jendarl Nuruddin, menjadi Sultan Mesir,
mempersatukan Mesir dan Suriah, lalu mengepung kerajaan tentara
Salib. Sementara itu, aliansi dengan Bizantium berakhir dengan
kematian kaisar Manuel
I pada tahun 1180, dan pada tahun
1187,
Yerusalem
diserang dan direbut oleh Saladin.
Pasukannya lalu menyebar ke utara dan merebut semua ibukota dari
negara-negara tentara salib, menyebabkan terjadinya Perang
Salib Ketiga.
Perang Salib Keempat
Perang
Salib Keempat (1202-1204)
pada awalnya dimaksudkan untuk menaklukkan Yerusalem
yang telah dikuasai Muslim
melalui suatu invasi melalui Mesir.
Sebaliknya, pada April 1204, Tentara Salib dari Eropa Barat menyerang
dan menaklukkan Kristen
(Ortodoks Timur) kota Konstantinopel,
ibukota Kekaisaran
Bizantium. Ini dipandang sebagai
salah satu dari tindakan terakhir di skisma besar antara Gereja
Ortodoks Timur dan Gereja
Katolik Roma.
Setelah kegagalan Perang
Salib Ketiga (1189-1192), Yerusalem kini telah
dikendalikan oleh dinasti Ayyubiyah, yang memerintah seluruh Syria
dan Mesir, kecuali untuk beberapa kota di sepanjang pantai masih
dikuasai oleh tentara salib Kerajaan Yerusalem, sekarang berpusat di
Acre.
Perang Salib Ketiga juga telah mendirikan sebuah kerajaan di Siprus.
Paus
Innosensius III berhasil menjadi
Paus pada 1198, dan penyeruan perang salib baru menjadi tujuan dari
kepausannya. Mayoritas pasukan perang salib, yang berangkat dari
Venesia pada Oktober 1202 berasal dari daerah-daerah di Perancis.
Beberapa daerah lain di Eropa dikirim juga, seperti Flanders dan
Montferrat. Kelompok terkenal lainnya berasal dari Kekaisaran Romawi
Suci, termasuk orang-orang di bawah Uskup Martin dari Pairis and
Uskup Conrad dari Halberstadt, bersama-sama dalam persekutuan dengan
tentara dan pelaut Venesia
yang dipimpin oleh Enrico Dandolo doge. Perjanjian ini diratifikasi
oleh Paus Innosensius, dengan larangan penyerangan terhadap
negara-negara Kristen.
Perang Salib Kelima
Perang Salib Kelima (1217–1221) adalah upaya untuk merebut kembali Yerusalem dan seluruh wilayah Tanah Suci lainnya dengan pertama-tama menaklukkan Dinasti Ayyubiyyah yang kuat di Mesir.
Paus
Honorius III mengorganisir Tentara Salib yang dipimpin
oleh Leopold
VI dari Austria dan Andrew
II dari Hongaria, dan sebuah serangan terhadap
Yerusalem
akhirnya menyebabkan kota itu tetap berada di tangan pihak Muslim.
Belakangan pada 1218, sebuah pasukan Jerman yang dipimpin oleh Oliver
dari Koln, dan sebuah pasukan campuran Belanda,
Vlams
dan Frisia
yang dipimpin oleh William
I, Adipati Belanda tiba. Untuk menyerang Damietta
di Mesir, mereka bersekutu dengan Kesultanan
Rûm Seljuk
di Anatolia,
yang menyerang Dinasti Ayubi di Suriah dalam upaya membebaskan
Tentara Salib dari pertempuran di dua front.
Setelah
menduduki pelabuhan Damietta, para Tentara Salib berbaris ke selatan
menuju Kairo
pada Juli 1221, tetapi mereka berbalik setelah pasokan mereka
berkurang dan menyebabkan mereka harus mengundurkan diri. Sebuah
serangan malam oleh Sultan Al-Kamil
menyebabkan kerugian besar di kalangan Tentara Salib dan akhirnya
pasukan itu pun menyerah. Al-Kamil sepakat untuk mengadakan
perjanjian perdamaian delapan tahun dengan Mesir.
Pada
musim semi 1213, Paus
Inosensius III menerbitkan bula
kepausan Quia
maior, yang menyerukan
kepada seluruh Dunia
Kristen untuk bergabung dalam
sebuah Perang
Salib yang baru. Namun raja-raja
dan kaisar-kaisar Eropa,
sedang sibuk berperang di antara mereka sendiri. Pada saat yang sama,
Paus Inosensius III tidak menginginkan bantuan mereka, karena perang
salib sebelumnya yang dipimpin oleh raja-raja
pernah gagal. Ia memerintahkan diadakanya prosesi, doa, dan
mengkhotbahkan seruan untuk mengorganisir Perang Salib itu, dengan
harapan untuk melibatkan penduduk umumnya, para bangsawan kecil, dan
para ksatria.
Pesan yang mengandung seruan berperang
ini disampaikan di Prancis
oleh Robert
dari Courçon. Namun, berbeda dengan Perang Salib
lainnya, tidak banyak ksatria Prancis yang ikut serta, karena mereka
sudah berperang dalam Perang
Salib Albigensia melawan sekte Kathar
yang sesat
di Pranis selatan.
Pada
1215 Paus Inosensius III menghimpun Konsili
Lateran IV. Dengan
rekan-rekannya, antara lain Patriarkh
Latin dari YJerusalem, Raoul
dari Merencourt, ia membahas
perebutan kembali Tanah Suci, di antara urusan gereja lainnya. Paus
Inosensius ingin peperangan ini dipimpin oleh kepausan,
seperti yang mestinya terjadi dengan Perang
Salib Pertama untuk menghindari
kesalahan-kesalahan Perang
Salib Keempat, yang diambil alih
oleh bangsa
Venezia. Paus Inosensius
merencanakan para perwira Salib bertemu di Brindisi
pada 1216, dan melarang perdagangan dengan pihak Muslim, untuk
memastikan bahwa para perwira Salib akan memiliki kapal dan senjata.
Setiap perwira Salib akan menerima indulgensia,
termasuk mereka yang hanya ikut menolong membayar biaya-biaya seorang
perwira Salib, namun tidak pergi sendiri dalam peperangan.
Perang Salib Keenam
Perang Salib Keenam
dimulai pada tahun 1228 sebagai upaya untuk mendapatkan kembali
Yerusalem.
Itu dimulai tujuh tahun setelah kegagalan Perang
Salib Kelima. Frederick
II, Kaisar
Romawi Suci, telah melibatkan dirinya secara luas
dalam Perang Salib Kelima, pengiriman pasukan dari Jerman,
tapi ia gagal mendampingi pasukan secara langsung, walau ada dorongan
Honorius
III dan kemudian Gregorius
IX, saat ia diperlukan untuk mengkonsolidasikan
posisinya di Jerman
dan Italia
sebelum memulai sebuah perang salib. Namun, Frederick lagi berjanji
untuk pergi pada perang salib setelah penobatannya sebagai kaisar
pada 1220 oleh Paus
Honorius III.
Pada 1225 Frederick menikah Yolande dari
Yerusalem (juga dikenal sebagai Isabella), putri John dari Brienne,
calon penguasa Kerajaan Yerusalem, dan Maria dari Montferrat.
Frederick kini punya klaim pada kerajaan yang terpecah, dan mempunyai
alasan untuk berusaha memulihkannya. Pada 1227, setelah menjadi Paus
Gregorius IX, Frederick dan pasukannya berlayar dari Brindisi menuju
Acre, tetapi sebuah epidemi Frederick menyebabkan ia kembali ke
Italia. Gregorius mengambil kesempatan ini untuk mengucilkan
Frederick untuk tentara salib yang melanggar sumpah, walaupun ini
hanya alasan, seperti Frederick sudah selama bertahun-tahun telah
berusaha untuk mengkonsolidasikan kekuasaan kekaisaran di Italia
dengan mengorbankan kepausan.
Gregorius
menyatakan bahwa alasan bagi ekskomunikasi Frederick adalah
keengganan untuk meneruskan perang salib. Untuk Gregory, perang salib
hanyalah alasan untuk mengucilkan kaisar. Frederick berusaha untuk
bernegosiasi dengan Paus, tapi akhirnya memutuskan untuk
mengabaikannya, dan berlayar ke Suriah
pada 1228 meskipun ekskomunikasi, dan tiba di Acre
pada bulan September.
Perang Salib Ketujuh
Perang Salib Ketujuh (1248-1254)
adalah perang salib yang dipimpin oleh Louis
IX dari Perancis.
Sekitar 50.000 bezant
emas
(suatu jumlah yang setara dengan seluruh pendapatan tahunan dari
Perancis) dijadikan tebusan untuk membebaskan Raja Louis yang bersama
dengan ribuan pasukannya, ditangkap dan Mesir dikalahkan oleh pasukan
yang dipimpin oleh Sultan Ayyubiyah Turansyah didukung oleh Bahariyya
Mamluk dipimpin oleh Faris ad-Din Aktai, Baibars al-Bunduqdari,
Qutuz, Aybak dan Qalawun.
Latar Belakang
Pada 1244,
para Khwarezmians merebut Yerusalem
dalam perjalanan mereka ke sekutu dengan Mamluk Mesir.
Sehingga kembali Yerusalem dikuasai muslim, namun kejatuhan Yerusalem
tidak lagi merupakan sebuah peristiwa menghancurkan dunia Kristen
Eropa, yang telah melihat perpindahan kota itu dari kistiani kepada
muslim ke sekian kali dalam dua abad terakhir. Kali ini, meskipun
panggilan dari Paus, tidak ada antusiasme populer untuk perang salib
baru.
Paus
Innosensius IV dan Frederick
II, Kaisar Romawi Suci
melanjutkan perjuangan kepausan-kekaisaran. Frederick ditangkap dan
dipenjarakan ulama dalam perjalanan ke Konsili
Lyon, dan pada 1245 ia secara
resmi digulingkan oleh Innosensius
IV. Paus Gregorius IX juga telah
ditawarkan sebelumnya saudara Raja Louis, pangeran Robert of Artois,
tetapi Louis menolak. Dengan demikian, Kaisar Romawi Suci tidak dalam
posisi untuk perang salib. Henry III dari Inggris itu masih berjuang
dengan Simon de Montfort dan masalah lain di Inggris. Henry dan Louis
tidak dalam saat yang terbaik, yang terlibat dalam
Capetia-Plantagenet perjuangan, dan sementara Louis sedang pergi
berperang raja Inggris menjanjikan menandatangani gencatan senjata
untuk tidak menyerang tanah Perancis. Louis
IX juga mengundang Raja
Haakon IV dari Norwegia
untuk perang salib, mengirim penulis sejarah inggris Matius Paris
sebagai seorang duta besar, tapi sekali lagi tidak berhasil.
Satu-satunya orang yang tertarik memulai perang salib yang lain
karena itu Louis IX, yang menyatakan niat untuk pergi Timur
pada 1245.
Perang Salib Kedelapan
Perang Salib
terakhir juag dipimpin oleh Louis IX. Di tahun-tahun kemudian,
perubahan di dunia Muslim mengakibatkan munculnya sejumlah serangan
baru ke wilayah Kristen di Tanah Kudus. Warga lokal meminta bantuan
militer pada Barat, tapi cuma sedikit bangsa Eropa yang tertarik
untuk melakukan kampanye besar. Satu orang yang sekali lagi mau
memanggul beban adalah Louis IX. Namun kampanye yang dia lakukan kali
ini mencapai kurang dari apa yang dicapai sebelumnya bagi Kerajaan
Yerusalem.
Tidak diketahui mengapa, tapi Tunisia di Afrika Utara dijadikan saran awal. Setelah disana, wabah mengambil nyawa banyak orang, termasuk Louis yang saleh. Saudaranya, Charles Anjou, tiba dengan kapal-kapal Sisilia dan berhasil mengungsikan sisa tentara.
Meskipun ini adalah Perang Salib terakhir, ini bukanlah ekspidisi militer terakhir yang bisa disebut sebagai Perang Salib. Kampanya terus diserukan atas berbagai sasaran (bukan hanya Muslim) oleh Prajurit Salib-orang yang berkaul untuk melakukan perang.
Tidak diketahui mengapa, tapi Tunisia di Afrika Utara dijadikan saran awal. Setelah disana, wabah mengambil nyawa banyak orang, termasuk Louis yang saleh. Saudaranya, Charles Anjou, tiba dengan kapal-kapal Sisilia dan berhasil mengungsikan sisa tentara.
Meskipun ini adalah Perang Salib terakhir, ini bukanlah ekspidisi militer terakhir yang bisa disebut sebagai Perang Salib. Kampanya terus diserukan atas berbagai sasaran (bukan hanya Muslim) oleh Prajurit Salib-orang yang berkaul untuk melakukan perang.
DAFTAR
PUSTAKA
SUMBER
PRIMER :
- Gesta Francorum et aliorum Hierosolimitanorum (anonymous)
- Peter Tudebode, Historia de Hierosolymitano itinere
- Selected letters by Crusaders:
-
- Ali ibn Tahir Al-Sulami (d. 1106): Kitab al-Jihad (extracts). First known Islamic discussion of the concept of jihad written in the aftermath of the First Crusade.
SUMBER SEKUNDER
- (en)Bartlett, Robert. The Making of Europe: Conquest, Colonization and Cultural Exchange, 950–1350. Princeton: 1993.
- (en)Chazan, Robert. In the Year 1096: The First Crusade and the Jews. Jewish Publication Society, 1997. ISBN 0-8276-0575-7.
- Bibliography of the First Crusade (1095-1099) compiled by Alan V. Murray, Institute for Medieval Studies, University of Leeds. Extensive and up to date as of 2004.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar