copas : Andari Yurikosari
Reformasi di bidang hukum perburuhan
ditandai dengan perubahan yang sangat signifikan dalam penyelesaian
perselisihan perburuhan. Penyelesaian perselisihan yang sebelumnya
melalui badan administrasi negara beralih ke peradilan khusus dalam
lingkungan peradilan umum, disamping penyelesaian melalui mediasi,
konsiliasi, dan arbitrase (penyelesaian di luar pengadilan).
Perubahan yang signifikan tersebut memberikan kebebasan kepada
pekerja dan pengusaha untuk memilih sendiri cara penyelesaian
perselisihan diantara mereka, apakah diluar pengadilan atau melalui
Pengadilan Hubungan Industiral (PHI).
Kemajuan teknologi industri, telah
mempengaruhi kompleknya perselisihan dalam hubungan antara pekerja
dengan pengusaha. Bahkan dalam hubungan antarserikat pekerja.
Persoalannya adalah bagaimana perselisihan itu diselesaikan sehingga
dapat memberikan kepastian hukum yang berkeadilan bagi pekerja dan
pengusaha. Dalam hubungan itu, pembentukan PHI sebagai pengadilan
khusus yang tertunda selama hampir 2 (dua) tahun sejak disahkanya UU
No.2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan
Industrial, sudah merupakan kebutuhan yang tidak dapat ditunda lagi.
Kepastian hukum yang berkeadilan itu harus diwujudkan dengan segera,
karena perselisihan yang berkepanjangan akan mempengaruhi proses
produksi bagi pengusaha dan mengganggu perekonomian keluarga pekerja.
Oleh sebab itu pembentukan PHI pada bulan Februari 2006, sudah tidak
dapat ditunda. Apalagi perselisihan perburuhan diyakini akan marak
setelah kenaikan harga BBM, karena akan mendorong pekerja untuk
menuntut perbaikan upah, sebaliknya pengusaha menanggung beban
tambahan biaya produksi.
Undang-Undang (UU) No.22 Tahun 1957
tentang Penyelesain Perselisihan Perburuhan dan UU No.12 Tahun 1964
tentang Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) di Perusahaan Swasta serta
peraturan perundang-undangan lainnya yang menghendaki penyelesaian
perselisihan perburuhan dilakukan secara bipartit, tripartit pada
instansi tenaga kerja, melalui P4D dan P4P sudah tidak efektif lagi.
Penyelesaian perselisihan yang lebih banyak melibatkan badan
administrasi negara itu, juga telah membuka peluang campur tangan
pemerintah. Hal ini dapat dilihat dengan adanya wakil pemerintah pada
P4D dan P4P serta diberikannya Hak Veto kepada Menteri Tenaga Kerja,
sehingga dapat membatalkan atau menunda Putusan yang telah diambil
oleh P4P. 2
Metode penyelesaian yang demikian
sudah tidak dapat dilakukan berdasarkan undang-undang PPHI. Dengan
diberlakukannya UU No.5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha
Negara maka Keputusan yang dihasilkan oleh P4P sebagai lembaga
admistratif, masih dapat digugat melalui Pengadilan Tinggi Tata Usaha
Negara (PT TUN). Putusan PT TUN ini juga masih dapat diajukan kasasi
dan permohonan peninjauan kembali kepada Mahkamah Agung sebagaimana
perkara lainnya. Dengan demikian persoalan yang seharusnya
diselesaikan dalam waktu yang relatif singkat, harus dilakukan
melalui mekanisme yang panjang dan melelahkan. Keadaan ini sangat
merugikan, khususnya kepada pekerja yang lemah dari segi ekonomi,
sementara pengusaha cenderung "lebih kuat".
Secara spirit dan konsep, apa yang
ditawarkan oleh UU No.2/2004 memang lebih memberikan harapan dan
mengurangi rasa pesimis karena bagaimanapun, UU No. 2/2004 telah
melakukan reformasi institusi dan reformasi mekanisme dalam
penyelesaian perselisihan perburuhan yang ditandai dengan pilihan
metode penyelesaian, pembentukan PHI, peniadaan lembaga banding, dan
pembatasan waktu dalam penanganan perkara. Hal
ini untuk lebih menjamin terciptanya rasa keadilan bagi pihak yang
beperkara, menurut UU No 2/2004, penyelesaian sengketa diutamakan
melalui perundingan guna mencari musyawarah mufakat di luar
pengadilan. Selama kurang lebih 49 tahun --sejak 1957 hingga 2003--
Bangsa Indonesia sama sekali belum mempunyai lembaga peradilan
ketenagakerjaan sendiri. Kecuali, lembaga nonpengadilan yang bernama
Panitia Penyelesaian Perselisihan Perburuhan Daerah (P4D) dan Panitia
Penyelesaian Perselisihan Perburuhan Pusat (P4P). Keinginan memiliki
lembaga peradilan ketenagakerjaan sendiri terwujud, setelah lahir
UU2/2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial yang
berlaku effektif sejak 14 Januari 2005 silam. UU ini tidak hanya
mengatur penyelesaian perkara di luar pengadilan, tetapi juga melalui
lembaga peradilan ketenagakerjaan yaitu Pengadilan Hubungan
Industrial (PHI). Satu hal yang sangat menggembirakan bagi
perkembangan hukum ketenagakerjaan kita adalah dimasukannya PHI
sebagai pengadilan khusus di bawah pengadilan negeri dalam struktur
hirarkis lingkungan peradilan umum. Selain Pengadilan Agama,
Pengadilan Tata Usaha Negara, dan Pengadilan Militer.
Setiap pengusaha seyogyanya
menghindari pemutusan hubungan kerja (PHK). Namun bilamana
perselisihan kepentingan hingga PHK tak bisa dihindari, pihak yang
merasa dirugikan hak perdatanya menurut UU Nomor 2 Tahun 2004 dapat
menempuh dua upaya penyelesaian, yaitu di luar pengadilan
(nonligitasi) dan melalui pengadilan (litigasi).
A. Penyelesaian Perselisihan
Hubungan Industrial Di Luar Pengadilan
Untuk lebih menjamin terciptanya rasa
keadilan bagi pihak yang beperkara, menurut UU No 2/2004,
penyelesaian sengketa diutamakan melalui perundingan guna mencari
musyawarah mufakat di luar pengadilan. Ada empat cara yang bisa
dilakukan dalam perundingan atau penyelesaian perselisihan di luar
pengadilan yaitu melalui bipartit, konsiliasi, arbitrase dan mediasi:
1. Bipartit adalah
penyelesaian perselisihan atau perundingan antara pengusaha dan
pekerja atau kuasa pekerja (Serikat Pekerja) di tingkat perusahaan.
Setiap perundingan di tingkat bipartit ini wajib dibuat Risalah
Perundingan yang memuat: nama lengkap dan alamat pihak beperkara;
tanggal dan tempat perundingan; pokok masalah atau alasan
perselisihan; pendapat para pihak beperkara; kesimpulan/hasil
perundingan; tanggal dan tanda tangan kedua belah pihak yang
melakukan perundingan.
Bilamana dalam perundingan ini terjadi
kesepakatan, maka dibuat Perjanjian Bersama yang ditandatangani kedua
belah pihak beperkara. Selanjutnya Perjanjian Bersama ini wajib
didaftarkan di PHI guna memperoleh Akta Bukti Pendaftaran Perjanjian
Bersama. Apabila ternyata kemudian salah satu pihak tidak
melaksanakan kesepakatan dalam Perjanjian Bersama, pihak yang
dirugikan hak perdatanya dapat mengajukan permohonan eksekusi kepada
PHI di wilayah hukumnya.
Penyelesaian perselisihan melalui
Bipartit ini harus tuntas paling lama 30 hari sejak tanggal
perundingan. Bilamana dalam jangka waktu 30 hari perundingan buntu
(deadlock)
atau salah satu pihak yang beperkara menolak untuk berunding, maka
perundingan bipartit dianggap gagal. Apabila dalam perundingan
bipartit gagal, maka salah satu atau kedua belah pihak mencatatkan
perselisihannya kepada Dinas Tenaga Kerja (Disnaker) setempat dengan
melampirkan bukti upaya penyelesaian bipartit. Selanjutnya, Disnaker
menawarkan kepada para pihak beperkara untuk memilih penyelesaian
melalui konsiliasi atau arbitrase. Namun apabila pihak yang beperkara
tidak menetapkan pilihan melalui konsiliasi atau arbitrase, Disnaker
melimpahkan penyelesaiannya melalui mediasi.
2. Konsiliasi,
adalah lembaga perorangan atau swasta mandiri yang diangkat dan
diberhentikan dalam periode tertentu melalui Kepmenaker RI. Fungsi
lembaga ini adalah menerima jasa bantuan/pelayanan hukum bidang
ketenagakerjaan dari salah satu pihak atau pihak beperkara yang
mengajukan permohonan penyelesaian secara tertulis. Terutama
perselisihan hak, kepentingan antara pengusaha dan pekerja, PHK.
Setiap jasa bantuan hukum yang diberikan oleh lembaga konsiliasi ini
dibayar oleh negara, yang besarnya ditentukan oleh Menteri Tenaga
Kerja dan Transmigrasi RI.
Apabila dalam perundingan di tingkat
konsiliasi ini terjadi kesepakatan para pihak, maka dibuat Perjanjian
Bersama yang ditandatangani kedua belah pihak beperkara. Selanjutnya
didaftarkan di PHI untuk mendapatkan Akta Bukti Pendaftaran.
Sebaliknya apabila tidak terjadi kesepakatan, maka pihak yang merasa
kurang puas atau tidak sesuai dengan tuntutannya dapat mengajukan
surat gugatan ke PHI.
Penyelesaian perselisihan melalui
konsiliasi ini harus tuntas dalam waktu 30 hari kerja, terhitung
sejak menerima permintaan dari salah satu pihak atau para pihak yang
beperkara dalam satu perusahaan.
3. Arbitrase,
adalah lembaga perorangan atau lembaga swasta mandiri yang diangkat
dan diberhentikan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi RI. Lembaga
ini juga berfungsi menerima jasa bantuan hukum bidang ketenagakerjaan
dari pihak yang beperkara. Namun, perkara yang ditangani lembaga ini
khusus mengenai perselisihan kepentingan antara anggota dengan
Serikat Pekerja dan perselisihan kepentingan antar-Serikat
Pekerja/organisasi buruh saja. Setiap jasa bantuan hukum yang
diberikan lembaga ini, dibayar oleh pihak yang meminta penyelesaian
perkaranya.
Berbeda dengan cara penyelesaian
perselisihan hubungan industrial di luar jalur Pengadilan yang
lainnya, kelebihan Lembaga Arbitrase ini adalah ia diberi wewenang
penuh oleh UU No 2/2004 untuk memeriksa, mengadili, dan mengeluarkan
Putusan Arbitrase yang mempunyai kekuatan hukum mengikat bagi para
pihak beperkara, serta merupakan putusan yang bersifat akhir dan
tetap. Kecuali di kemudian hari diketahui ternyata pihak lawan
perkara diduga menggunakan tipu muslihat, dokumen palsu, bertentangan
dengan peraturan perundang-undangan, dsb. Untuk hal ini, pihak yang
dirugikan dapat mengajukan permohonan pembatalan atau minta
Peninjauan Kembali (PK) kepada Mahkamah Agung.
4.Mediasi,
adalah penyelesaian perselisihan antara pengusaha dan pekerja atau
kuasa pekerja yang diperantarai mediator atau Pegawai Departemen
Tenaga Kerja yang ditunjuk Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi RI.
Dulu, disebut Tingkat Tripartit atau Tingkat Perantaraan. Lembaga ini
merupakan penyelesaian terakhir di luar pengadilan, apabila salah
satu atau para pihak beperkara tidak dapat menetapkan pilihan
konsiliasi atau arbitrase, atau menolak penyelesaian perselisihan
melalui konsiliasi atau arbitrase.
Apabila terjadi kesepakatan melalui
mediasi, maka dibuat Perjanjian Bersama yang ditandatangani kedua
belah pihak beperkara dan oleh mediator selaku saksi. Perjanjian
Bersama juga harus didaftarkan ke PHI untuk mendapatkan Akta Bukti
Pendaftaran. Namun apabila kemudian ternyata salah satu pihak
beperkara tidak melaksanakan isi Perjanjian Bersama, pihak yang
dirugikan dapat mengajukan permohonan eksekusi kepada PHI setempat.
Penyelesaian perselisihan melalui
mediasi ini dalam jangka waktu paling lambat 30 hari kerja, terhitung
sejak menerima pelimpahan penyelesaian perselisihan dari salah satu
pihak atau para pihak di Tingkat Bipartit/Konsiliasi/Arbitrase.
B. Penyelesaian Perselisihan
Hubungan Industrial Melalui Pengadilan
Proses beracara di PHI, sebagaimana
disebutkan Pasal 57 UU No 2/2004 adalah sama dengan Hukum Acara
Perdata yang berlaku di lingkungan peradilan umum. Perbedaannya hanya
terletak pada pokok gugatan, yaitu dalam surat gugatan hubungan
industrial khusus perkara yang ada hubungannya dengan
ketenagakerjaan. Selain itu, perbedaannya dengan Hukum Acara Perdata,
dalam penyelesaian sengketa melalui PHI hanya melalui dua tingkat
pemeriksaan/persidangan, yaitu PHI sebagai pengadilan tingkat pertama
dan Mahkamah Agung sebagai Pengadilan Tingkat Terakhir. Pengadilan
Hubungan Industrial bertugas dan berwenang memeriksa dan memutus
perkara di tingkat pertama mengenai perselisihan hak;di tingkat
pertama dan terakhir mengenai perselisihan kepentingan;di tingkat
pertama mengenai perselisihan pemutusan hubungan kerja, dan di
tingkat pertama dan terakhir mengenai perselisihan antar serikat
pekerja/serikat buruh dalam satu perusahaan.
Gugatan perdata yang diajukan dan
diperiksa oleh hakim PHI ini terutama kasus perselisihan
ketenagakerjaan yang tidak dapat diselesaikan di Tingkat Konsiliasi
dan atau Tingkat Mediasi. Timbulnya perselisihan sampai terjadi
gugatan ke PHI, umumnya adalah karena tidak terjadinya kesepakatan
para pihak yang berperkara mengenai besar-kecilnya uang pesangon,
uang jasa, ganti rugi perumahan dan pengobatan, dsb dalam perundingan
di Tingkat Konsiliasi atau Tingkat Mediasi. Atau bisa juga karena
salah satu pihak beperkara ingkar terhadap Perjanjian Bersama/Akta
Perdamaian yang disepakati di Tingkat Bipartit, atau Tingkat
Konsiliasi, atau Tingkat Arbitrase, atau Tingkat Mediasi. Kalau yang
terakhir terjadi, maka salah satu pihak yang dirugikan dapat
mengajukan permohonan eksekusi kepada Ketua PHI.
Hakim kasasi adalah majelis hakim di
Mahkamah Agung RI, terdiri atas satu Hakim Agung dan dua Hakim
Ad-Hoc. Hakim Kasasi berwenang memeriksa dan mengadili perkara
perselisihan hak dan PHK serta Peninjauan Kembali (PK) terhadap
putusan Arbitrase. Hakim Kasasi ini wajin mengeluarkan putusan paling
lambat 30 hari kerja setelah menerima permohonan kasasi atau PK.
Kehadiran PHI ini tidak hanya
merupakan aset hukum bagi dunia peradilan kita, tetapi juga merupakan
kekuatan baru bagi pekerja dalam rangka mencari perlindungan hukum.
Terlebih adanya putusan PHI berupa sita eksekusi. Dengan demikian,
diharapkan tidak ada lagi pengusaha yang berani bertindak semena-mena
terhadap pekerjanya. Adalah harapan kita semua, dengan UU No 2/2004
dan PHI ini diimbangi peran serta konsiliator, arbiter, mediator, dan
hakim PHI yang benar-benar menegakkan hukum dengan tegas, jujur,
adil, bersih dari KKN serta netral (tidak memihak). Semua anjuran
tertulis dari konsiliator, arbiter, dan mediator, maupun putusan PHI
benar-benar berdasarkan atas hukum, keadilan, dan kepatutan.
Perselisihan perburuhan yang merupakan
sengketa perdata itu, sudah saatnya dan sudah seharusnya diadili oleh
peradilan umum sejak dari awal. Namun bagi pencari keadilan, Pekerja
terutama, yang terpenting bukan pada institusi dan mekanisme
penyelesaiannya, melainkan bagaimana hak-hak mereka dapat diperoleh
secara wajar tanpa harus bersentuhan dengan keruwetan birokrasi dan
calo keadilan. Kekhawatiran terhadap hal yang demikian adalah wajar,
karena walaupun telah dilakukan penyederhanaan institusi dan
mekanisme, PHI masih menggunakan Hukum Acara Perdata dalam
pelaksanaan eksekusinya, baik eksekusi putusan PHI sendiri maupun
eksekusi hasil mediasi, konsiliasi, dan arbitrase yang tidak
dilaksanakan secara sukarela oleh para pihaknya. Masalah eksekusi ini
merupakan masalah yang sangat krusial, karena disinilah penentuan dan
letak akhir sebuah proses. Menjadi tidak bernilai sebuah putusan jika
sulit untuk dieksekusi. Dalam praktek peradilan kita, eksekusi
bukanlah sesuatu yang "pasti" mudah dilakukan meskipun
sebuah putusan telah mempunyai kekuatan hukum tetap. Pada tahapan ini
masih banyak ruang yang menggoda terjadinya permainan yang
memanfaatkan pihak yang bersengketa oleh oknum pengadilan. Oleh sebab
itu sudah seharusnya pula dibentuk hukum yang baru mengenai eksekusi
putusan pengadilan, setidaknya eksekusi putusan PHI, yang
sekurang-kurangnya merupakan penyederhanaan waktu proses eksekusi.
Selain itu pembentukan PHI pada setiap peradilan umum dalam wilayah
yang padat industri harus menjadi perhatian Presiden agar tidak
tertunda dan segera diwujudkan. Dengan demikian keberadaan PHI yang
diharapkan dapat mewujudkan penyelesaian perselisihan perburuhan
secara cepat, tepat, adil, dan murah, akan mampu merubah sikap
pesimis dan anggapan masyarakat bahwa berurusan dengan pengadilan
adalah identik dengan ketidakpastian dan biaya mahal, apalagi
kekecewaan dan keraguan masyarakat semakin menggunung dengan
merebaknya kasus mafia peradilan yang seperti tidak pernah berhenti.
Oleh karenanya, jika penyelesaian perselisihan perburuhan masih tetap
tidak efektif melalui PHI, maka tentu tidak ada bedanya penyelesaian
melalui Badan Administasi Negara dengan Peradilan Umum.3
Ini adalah tantangan bagi penyelenggara PHI kepada masyarakat
Indonesia, khususnya pihak-pihak yang terkait dalam masalah
ketenagakerjaan.
C. Konsiliasi Sebagai Suatu
Paradigma Baru
Berbeda
dengan lembaga mediasi yang bersifat wajib, setelah kegagalan upaya
bipartite, lembaga konsiliasi dan arbitrase merupakan pilihan.
Sebagai lembaga pilihan, konsiliasi dan arbitrase hanya dapat
ditempuh apabila kedua belah pihak yang berselisih sepakat untuk
mencari penyelesaian melalui lembaga tersebut. Dengan demikian,
apabila upaya bipartite gagal, maka para pihak diberi kesempatan
untuk memilih upaya penyelesaian yang mereka inginkan, apakah
konsiliasi atau arbitrase. Apabila mereka tidak memilih salah satu
dari upaya tersebut, maka penyelesaian wajib dilakukan melalui
mediasi.
Konsiliasi adalah penyelesaian
perselisihan kepentingan, perselisihan pemutusan hubungan kerja (PHK)
dan perselisihan antar serikat pekerja dalam satu perusahaan yang
dilakukan melalui musyawarah yang ditengahi oleh seorang atau lebih
konsiliator yang netral. Berbeda dengan mediasi yang dapat
menyelesaikan segala jenis perselisihan, dalam konsiliasi ada
pengecualian, yaitu perselisihan hak. Perselisihan hak hanya dapat
diselesaikan melalui lembaga bipartite, mediasi atau PHI.
Dibandingkan dengan Undang-undang
Perburuhan yang lama, penyelesaian melalui jalur konsiliasi; peranan
konsiliator mirip dengan pegawai perantara pada Dinas
Ketenagakerjaan. Bedanya terletak pada pejabatnya, yaitu bersifat
adhock,
bukan pejabat pemerintah seperti pegawai perantara.4
Lembaga konsiliasi menyelesaikan
perselisihan hubungan industrial melalui musyawarah, akan tetapi
apabila tidak tercapai konsiliator akan mengeluarkan anjuran yang
berisi pendapat konsiliator atas perselisihan yang dihadapkan
kepadanya. Karena pendapat yang dikeluarkan oleh konsiliator tersebut
hanya berupa anjuran, dan bukan putusan, maka para pihak yang terkait
dalam perselisihan tersebut tidak wajib untuk memenuhi anjuran. Pihak
yang merasa dirugikan atas anjuran tersebut berhak menolak
melaksanakan isi anjuran dan mengajukan gugatan ke Pengadilan
Hubungan Industrial.
Apabila penyelesaian perselisihan
melalui konsiliasi dapat dilakukan, maka konsiliator membantu para
pihak untuk membuat Perjanjian Bersama dan mendaftarkannya ke
Pengadilan Negeri setempat untuk mendapatkan akta bukti Perjanjian
Bersama. Konsiliator harus sudah menyelesaikan dan atau mengeluarkan
anjuran atas perselisihan dalam jangka waktu 30 hari terhitung sejak
lembaga konsiliasi menerima permintaan penyelesaian perselisihan.
DAFTAR
PUSTAKA
Damanik,
Sehat. Hukum Acara Perburuhan, Jakarta : DSS Publishing, 2007,
h.45
Yusman,
“Perselisihan Perburuhan dari Pengadilan Administrasi ke Pengadilan
Umum”, Harian Suara Pembaruan Daily, 10 September 2005, h. 1
1
Dosen Biasa Pada Fakultas Hukum Universitas Trisakti, Anggota Pusat
Studi Hukum Ketenagakerjaan Universitas Trisakti, Anggota Pusat
Kajian Hukum dan Perundang-undangan Pusat Studi HAM Universitas
Trisakti. Makalah disampaikan Pada Bimtek Bagi Konsiliator
diselenggarakan oleh Depnakertrans, Cisarua, 6 Juli 2007
2
Yusman, “Perselisihan Perburuhan dari Pengadilan Administrasi ke
Pengadilan Umum”, Harian Suara Pembaruan Daily, 10 September 2005,
h.1
3
Yusman, Op.cit.
4
Sehat Damanik, Hukum Acara Perburuhan, Jakarta: DSS
Publishing, 2007, h.45
Tidak ada komentar:
Posting Komentar