Mediasi Keluarga dan
Tantangannya Bagi Pengadilan Agama
by : M. NUR (Hakim PA. Painan,
Sumatera Barat)
Pasca diberlakukannya
Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2008 tentang Prosedur Mediasi
di Pengadilan, mediasi telah menjadi salah satu rangkaian penting
dari keseluruhan proses penanganan perkara di pengadilan, termasuk
Pengadilan Agama. Adanya klausul-klausul yang beraksentuasi
imperatif, seperti kemestian melakukan proses mediasi sebelum
pemeriksaan pokok perkara, kemungkinan batalnya putusan pengadilan
yang tidak menyertakan pertimbangan mediasi dan berbagai klausul
lainnya mendorong perhatian terhadap mediasi menjadi semakin
intensif.
Semangat yang
menginspirasi perlunya mediasi dalam pemeriksaan perkara di
pengadilan adalah kenyataan bahwa perdamaian, jika mediasi berhasil,
memiliki akibat hukum dan efek psikologis yang sangat baik bagi
pihak-pihak berperkara karena dihasilkan dari kesepakatan pihak-pihak
sendiri, sehingga daya ikatnya terhadap penyelesaian perkara menjadi
lebih kuat, dan oleh karenanya kemungkinan untuk mengajukan proses
hukum lebih lanjut semakin menipis, dan bagi pengadilan dapat
mengurangi penumpukan perkara.
Bagi para pihak yang
berperkara, mediasi memberikan nilai-nilai positif dalam penyelesaian
perselisihan, seperti pentingnya penghormatan terhadap orang lain,
kehormatan, kejujuran, keadilan, saling timbal balik, partisipasi
individual, kesepakatan dan pengendalian para pihak. Nilai-nilai mana
selanjutnya meng-counter sistem nilai yang berlaku dalam
penyelesaian perkara secara litigasi, seperti proses advesarial,
tidak personal, pengendalian oleh pengacara, dan perintah otoritatif
peraturan.
Dan bagi pengadilan agama
yang menangani perkara-perkara keluarga (al-ahwal al-syakhshyiah)
yang didominasi oleh perkara-perkara perceraian, mediasi memberikan
keuntungan dengan semakin bervariasinya bentuk-bentuk upaya damai
yang dapat ditawarkan untuk menghindari terjadinya perceraian. Sejauh
ini telah ada upaya damai yang dilakukan oleh hakim saat dan selama
memeriksa perkara, upaya damai oleh hakam yakni pihak keluarga,
khusus dalam perkara syiqaq. Dengan adanya mediasi, maka upaya damai
sebagai building block penting sebelum perceraian benar-benar
terjadi menjadi semakin kokoh.
Implementasi mediasi
sebagai sebuah building block sebelum terjadinya perceraian
merupakan feature yang paling lazim ditemukan di Pengadilan Agama.
Asumsinya, mediasi ditempatkan sebagai forum untuk mempertimbangkan
kemungkinan-kemungkinan terjadinya ishlah (perdamaian) diantara suami
isteri sehingga diharapkan diperoleh suatu perubahan sikap diantara
mereka dan perceraian sebagai alternatif penyelesaian masalah rumah
tangga dapat diurungkan.Dengan terjadinya kesepakatan damai, maka
secara formal diharapkan pihak berperkara dapat mencabut
gugatan/permohonannya.
Gambaran umum tentang
pelaksanaan mediasi tersebut selanjutnya menjadi premis penting dalam
merumuskan parameter keberhasilan mediasi, yakni apabila pihak
berperkara bersedia secara sukarela rukun kembali dan selanjutnya
mencabut perkaranya. Konsekwensi logis dari perumusan parameter
tersebut adalah apabila dalam mediasi para pihak tidak dapat
mempertimbangkan untuk berdamai kembali, maka mediasi dengan serta
merta dinyatakan gagal, sehingga pembicaraan-pembicaraan mengenai apa
yang akan terjadi pasca perceraian menjadi tidak termediasi dan
diserahkan pada proses adversarial dibawah kepemimpinan hakim yang
menanganinya.
Dengan menyerahkan
sepenuhnya kepada proses adversarial pasca gagalnya mediasi karena
pihak berperkara tidak mencapai kesepakatan mengenai kemungkinan
untuk hidup rukun kembali, maka hal-hal yang berkait dengan
masalah-masalah keluarga setelah perceraian dengan sendirinya juga
akan diselesaikan secara adversarial manakala dalam pemeriksaan
mengemuka dalam bentuk tuntutan rekonvensi. Ini kemudian berarti
ruang lingkup mediasi keluarga di Pengadilan Agama menjadi semakin
menciut, padahal pada tataran konseptual semua hal sesungguhnya dapat
dimediasi, termasuk masalah-masalah keluarga pasca perceraian (post
divorce matters).
Praktek mediasi yang
selama ini berjalan di Pengadilan Agama pada akhirnya menyisakan
pertanyaan-pertanyaan yang bagi Penulis berpangkal pada satu
pertanyaan pokok, inikah kemudian model pelaksanaan mediasi yang
dikehendaki oleh Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2008 tentang
Prosedur Mediasi di Pengadilan atau dalam spektrum yang lebih luas
mediasi keluarga yang banyak diagung-agungkan dalam berbagai
literatur alternatif penyelesaian sengketa di berbagai belahan dunia ?
Tulisan ini akan berusaha
menelusuri hal-hal tersebut dengan mengedepankan beberapa
pertimbangan yang diharapkan dapat mendudukkan mediasi atau
specifically mediasi keluarga secara proporsional dalam konteks
penyelesaian sengketa keluarga di Indonesia. Diharapkan dengan
penelusuran ini kemudian akan terpetakan besaran tantangannya bagi
Pengadilan Agama. Keterbatasan referensi dan pengalaman mungkin akan
menjadi faktor yang tak terhindarkan bagi Penulis dalam menguraikan
masalah ini.
Menelaah Makna Mediasi
dan Peran Mediator
Dengan mengutip
pemaknaan yang dipergunakan oleh James Melamed dan definisi yang
diadopsi oleh National Alternative Dispute Resolution Advisory
Council of Sydney, Assist. Prof. Dr. Mek Wok Mahmud dan Assoc. Prof.
Dr. Sayed Sikandar Shah Haneef, menguraikan makna mediasi sebagai
berikut:
Mediation literally
denotes the idea of “assisted negotiation.” Negoiation may be
thought of as “communication for agreement.” Hence, mediation is
“assisted communications for agreement. In the legal
parlance, it signifies a process in which the parties for a dispute,
with the assistance of a dispute resolution practitioner (mediator),
identify the disputed issues, develop options, consider alternatives
and endeavours to reach an agreement. (
Mediasi secara harfiah menunjuk pada gagasan tentang
“negosiasi yang dibantu”. Negosiasi dapat dipandang sebagai
komunikasi untuk mencapai kesepakatan. Oleh karena itu, mediasi
adalah komunikasi yang dibantu (oleh orang lain) untuk mencapai
kesepakatan. Dalam bahasa hukum, mediasi berarti suatu proses dimana
pihak-pihak yang bersengketa, dengan bantuan seorang praktisi
penyelesaian sengketa (mediator), mengidentifikasi
permasalahan-permasalahan sengketa, mengembangkan pilihan-pilihan,
mempertimbangkan alternatif-alternatif dan berusaha mencapai
kesepakatan).
Pemaknaan mediasi sebagai
sarana bagi proses negosiasi dikemukakan juga oleh Marian Roberts
dalam bukunya, Mediation in Family Disputes: Principles and Practice,
sebagai berikut:
The most important
point to remember when discussing mediation is that it is nothing
more and less than a device for facilitating the negotiation process.
The negotiation can and do occur without a mediator but mediation can
never occur in the absence of negotiation. (
Poin terpenting ketika mendiskusikan mediasi adalah ia
(mediasi) tak lebih dan tak kurang dari sarana untuk memfasilitasi
proses negosiasi. Negosiasi dapat dan benar-benar terjadi tanpa
seorang mediator, tetapi mediasi tidak akan pernah terjadi tanpa
negosiasi ).
Mainstream
pemikiran ini pula yang dipergunakan oleh Peraturan Mahkamah Agung
Nomor 1 Tahun 2008 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan ketika
merumuskan makna mediasi. Dan sepanjang penelusuran Penulis,
pemaknaan terhadap mediasi hampir di semua negara dan semua ranah
sengketa hukum bergerak dalam mainstream pemikiran ini. Sehingga
dapat dipahami kemudian jika dalam Ketentuan Umum Pasal 1 poin 7
Perma disebutkan, mediasi adalah cara penyelesaian sengketa
melalui proses perundingan untuk memperoleh kesepakatan para pihak
dengan dibantu oleh mediator.
Mediasi keluarga (family
mediation), yang menjadi fokus tulisan ini, juga didefinisi
dengan mainstream tersebut. Model Standards of Practice for
Family and Divorce Mediation yang dipergunakan oleh The Association
of Family and Conciliation Courts (AFCC) mendefinikannya sebagai “a
process in which a mediator, an impartial third party, facilitates
the resolution of family disputes by promoting the particiants’
voluntary agreement. The family mediator assists communication,
encourages understanding and focuses the participants on their
individual and common interests. The family mediator works with the
participants to explore options, make decisions and reach their own
agreement” ( Suatu proses dimana seorang mediator, pihak ketiga
yang tidak memihak, memfasilitasi penyelesaian sengketa keluarga
dengan mendorong (terwujudnya) kesepakatan sukarela para pihak.
Mediator keluarga membantu (proses) komunikasi, mendorong pemahaman
dan memfokuskan peserta mediasi pada kepentingan pribadi dan
kepentingan umum mereka. Mediator keluarga bekerja dengan para pihak
untuk menggali pilihan-pilihan, membuat keputusan dan mencapai
kesepakatan mereka.
Berdasarkan rangkaian
definisi diatas, setidaknya dapat dipahami bahwa aspek-aspek
konstitutif mediasi adalah pihak-pihak berperkara yang akan melakukan
mediasi, sengketa yang melibatkan pihak-pihakt berperkara, negosiasi
diantara pihak-pihak, dan mediator sebagai fasilitator. Dalam mediasi
selanjutnya pihak-pihak berperkara akan melakukan negosiasi diantara
mereka terhadap kemungkinan penyelesaian masalah yang terjadi
diantara mereka secara damai dengan bantuan seorang mediator.
Dalam penggambaran Marian
Roberts, negosiasi diantara pihak-pihak berperkara melibatkan proses
komunikasi, pertukaran informasi, dan pembelajaran. Ketiga proses
tersebut dipandang sebagai sarana-sarana untuk mendudukkan seluk
beluk sengketa diantara para pihak dan secara bertahap muncul
peningkatan pengetahuan mengenai semua situasi, tekanan, perasaan,
sikap, persepsi dan kebutuhan yang mengelilingi sengketa. Karena
pengetahuan ini mendorong diperolehnya pemahaman yang meningkat, maka
akan muncul suatu kecenderungan terjadinya pengurangan persaingan dan
kekerasan sehingga terjadi penyesuaian dan modifikasi harapan,
tuntutan dan preferensi. Tahapan tawar menawar akhir dapat dimasukkan
segera setelah tataran komunikasi dan pembelajaran selesai.
Apa yang dapat dipahami
kemudian dari proses negosiasi dan tawar menawar tersebut kemudian, yakni perdamaian yang
dihasilkan dalam proses mediasi bersifat emic, yang berasal dari
kesepakatan para pihak sendiri, bukan mediator. Para pihak lah yang
kemudian menentukan hal-hal yang disepakati dari proses negosiasi
yang mereka lakukan. Apabila yang mengambil prakarsa untuk menentukan
isi kesepakatan itu adalah mediator, maka sifat emic mediasi
tersebut telah tereduksi dan boleh jadi mediasi telah kehilangan
identitas genuine-nya. Mediator dalam konteks
ini diharapkan dapat memainkan peranan setidak-tidaknya dalam lima
hal, yakni:
- Membangun kembali kontak diantara para pihak bersengketa;
- Menyediakan suatu forum yang netral dimana pihak-pihak dapat bertemu secara face to face;
- Memberikan suatu kehadiran yang tidak memihak dan mendukung negosiasi;
- Memfasilitasi suatu pertukaran informasi diantara para pihak dalam suatu kerangka yang terstruktur;
- Membantu para pihak meneliti kepentingan dan sasaran mereka serta kemungkinan
- tercapainya kesepakatan yang bersifat praktis, diterima secara mutual dan bermanfaat bagi
- mereka dan anak-anak mereka.
Dengan peran yang
sedemikian penting, mediator diharapkan memiliki—meminjam rumusan
yang dipergunakan oleh Robert S. Kapplan dan David P.
Norton—pengetahuan (knowledge), kecakapan (skill), dan sikap
(attitude) dalam melaksanakan proses mediasi. Model Standards of
Practice for Family and Divorce Mediation yang dipergunakan oleh
The Association of Family and
Conciliation Courts
merumuskan setidak-tidaknya mediator harus:
- Have knowledge of family law (mempunyai pengetahuan tentang hukum keluarga).
- Have knowledge of and training in the impact of family conflict on parents, children, and other participants, including knowledge of child development, domestic abuse and child abuse and neglect (Mempunyai pengetahuan dan pelatihan tentang dampak konflik keluarga terhadap orang tua, anak-anak, dan peserta lainnya, termasuk pengetahuan tentang perkembangan anak, kekerasan domestik dan kekerasan serta pengabaian terhadap anak).
- Have education and training specific to the process of mediation (memiliki pendidikan dan pelatihan khusus tentang proses mediasi).
- Be able to recognize the impact of culture and diversity (Mampu mengenal dampak budaya dan keragaman).
Pengetahuan-pengetahuan
tersebut perlu didukung dengan kecakapan-kecakapan khusus yang
terkait dengan upaya mendorong tumbuhnya kemauan para pihak untuk
berkomunikasi secara intensif menyelesaikan masalah rumah tangganya.
Terkait dengan ini, menurut Charlton dan Dewdney, terdapat dua
kecakapan utama yang diperlukan oleh seorang mediator, yakni
kecakapan mendengar secara efektif (efective listening skilss)
dan kecakapan bertanya (questioning skills).
Kecakapan mendengar
adalah alat komunikasi yang dipergunakan tidak hanya untuk
memahamimaksud pihak-pihak, tetapi juga untuk menjamin bahwa
intervensi dan respons yang terjadi akan benar-benar menfasilitasi
proses mediasi. Mendengar itu bisa dilakukan secara aktif dan pasif.
Mendengar aktif bermakna seorang mediator mendengarkan apa yang
dikatakan oleh para pihak dan memberikan umpan balik secara aktif
yang merefleksikan suatu penghargaan atas pentingnya apa yang
dikatakan para pihak. Sasaran utamanya adalah:
a. Menyampaikan kepada
para pihak bahwa mediator tidak hanya mendengarkan mereka, tetapi
juga memahami signifikansi apa yang mereka katakan.
b. Merefleksikan
intensitas perasaaan para pihak.
c. Mengklarifikasi dan
meminimalisasi kesalahpahaman diantara para pihak.
d. Membuat penggunaan
konstruktif dari apa yang dikatakan oleh para pihak untuk
memfasilitasi penyelesaian masalah yang ternegosiasikaan oleh mereka
secara memuaskan.
e. Memfasilitasi
penyelesaian masalah dengan menciptakan peluang-peluang bagi empati
dan pemahaman timbal balik.
Sebaliknya, mendengar
pasif melibatkan pendengaran mediator secara diam terhadap apa yang
dikatakan oleh para pihak dan memberikan respons secara pasif,
misalnya dengan menggunakan isyarat non-verbal seperti kontak mata,
mengangguk, bersandar kedepan, umumnya relaks, terfokus, tidak
kelihatan tidak tertarik, sambil secara verbaal merespons dengan
menggunakan pengakuan yang tidak berkomitmen. Dalam proses ini, ia
membuat pernyataan yang mendorongpara pihak untuk mengeluarkan
keluhan-keluhannya dengan tetap menjaga kemungkinan adanya bias.
Sasaran utama dari mendengar pasif adalah:
a. Mendorong para pihak
untuk terus berbicara.
b. Mendorong pihak-pihak
untuk mengakhiri pernyataan-pernyataan mereka khususnya ketika mereka
berbicara yang terkesan ragu.
c. Menyampaikan kepada
para pihak bahwa dengan diam, mediator tidak terkesan tidak
tertarik.
d. Menelusuri dampak apa
yang dikatakan satu pihak kepada pihak yang lain.
Teknik bertanya, sebagai
kecakapan lain yang perlu dimiliki oleh seorang mediator, adalah
alat
penting lain dalam
mediasi. Bertanya yang efektif adalah sesuatu yang dipergunakan untuk
mencapai sasaran-sasaran
berikut:
a. Mengklarifikasi apa
yang dikatakan oleh para pihak.
b. Mendorong pihak-pihak
untuk memberikan informasi yang relevan kepada pihak lain.
c. Menggali
gagasan-gagasan lebih lanjut untuk mendorong para pihak menggeser
fokus ke masa yang akan datang.
d. Memfasilitasi
pengidentifikasian para pihak terhadap perasaan dan emosi mereka.
Oleh karena mediasi itu
proses memfasilitasi negosiasi para pihak, maka berdasarkan konsepsi
tersebut berbagai kalangan telah merumuskan sikap (attitude) yang
diperlukan oleh seorang mediator.
Dalam Model Standards of
Practice for Family and Divorce Mediation yang dipergunakan oleh The
Association of Family and Conciliation Courts, setidak-tidaknya
disebutkan beberapa sikap yang diperlukaan untuk menjadi seorang
mediator keluarga, antara lain:
a. Memahami bahwa
mediasi dilaksanakan berdasarkan asas self-determination.
b. Terbuka dalam
menjelaskan kepada pihak-pihak bermediasi mengenai apakah yang
dimaksud dengan mediasi, dasar penentuan kompensasi, biaya-biaya,
dan beban-beban yang harus ditanggung oleh pihak-pihak yang
bermediasi.
c. Imparsial, yang
didefinisikan sebagai bebas dari sikap pilih kasih atau bias dalam
kata-kata, tindakan atau penampilan (freedom from favoritism or bias
in word, action or appearance).
d. Menghindari konflik
kepentingan, yang didefinisikan sebagai setiap hubungan antara
mediator, salah satu pihak atau masalah sengketa yang mengkompromikan
atau nampak mengkompromikan imparsialitas mediator (any relationship
between the mediator, any participant or the subject matter of the
dispute, that compromises or appears to compromise the mediator’s
impartiality).
e. Menjaga kerahasiaan
semua informasi dalam proses mediasi, kecuali diizinkan oleh
undang-undang atau atas kesepakatan para pihak bermediasi.
f. Membantu para pihak
bermediasi dalam menentukan kepentingan terbaik anak.
g. Sensitif terhadap
situasi keluarga yang melibatkan kekerasan dan pengabaian terhadap
anak-anak, kekerasan
dalam rumah tangga.
Bertitik tolak dari
uraian-uraian diatas, maka dapat dibedakan dengan jelas
perbedaan-perbedaan antara mediasi dengan bentuk-bentuk alternatif
penyelesaian sengketa lainnya, seperti konsiliasi dan arbitrase.
Terkait dengan hal ini, Assist. Prof. Dr. Mek Wok Mahmud dan Assoc.
Prof. Dr. Sayed Sikandar Shah Haneef menguraikan sebagai berikut tentang apakah mediasi
itu dan menilai kapasitas mereka sebelum pihak-pihak bermediasi
mencapai kesepakatan untuk
bermediasi :
- Standard V Model Standards of Practice for Family and Divorce Mediation menyebutkan: A family mediator shallfully disclose and explain the basis of any compensation, fees and charges to the participants. [Seorang mediator keluarga akan sepenuhnya membuka dan menjelaskan dasar dari setiap kompensasi, biaya-biaya, dan ongkos-ongkos yang dibebankan kepada pihak-pihak bermediasi].
- Standard IV Model Standards of Practice for Family and Divorce Mediation menyebutkan: A family mediator shall conduct the mediation process in an impartial manner. A family mediator shall disclose all actual and potential grounds of bias and conflicts of interest reasonably known to the mediator. The participants shall be free to retain the mediator by an informed, written waiver of the conflict of interest. However, if a bias or conflict of interest clearly impairs a mediator’s impartiality, the mediator shall withdraw regardless of the express agreement of the participants. [Seorang mediator keluarga akan melaksanakan proses mediasi secara tidak memihak. Seorang mediator keluarga akan membuka semua ranah bias yang aktual maupun potensial dan konflik-konflik kepentingan yang layak diketahui terhadap mediator. Pihak-pihak bermediasi bebas mempertahankan mediator dengan surat pernyataan tertulis tidak akan mengajukan tuntuan tentang adanya konflik kepentingan. Namun, jika suatu bias atau konflik kepentingan nyata-nyata mengganggu imparsialitas mediator, maka mediator akan menarik diri tanpa memperhatikan persetujuan yang disampaikan oleh para pihak bermediasi]
- Standard VII Model Standards of Practice for Family and Divorce Mediation menyebutkan: A family mediator shall maintain the confidentiality of all information acquired in the mediation process, unkess the mediator is permitted or required to reveal the information by law or agreement of the participants. [Seorang mediator keluarga akan menjaga kerahasiaan semua informasi yang diperoleh dalam proses mediasi, kecuali mediator diijinkan atau diminta menyampaikan informasi tersebut oleh hukum atau (atas) kesepakatan pihak-pihak bermediasi].
- Standard VIII Model Standards of Practice for Family and Divorce Mediation menyebutkan: A family mediator shall assist participants in determining how to promote the best interest of children. [Seorang mediator keluarga akan membantu pihak-pihak bermediasi dalam menentukan bagaimana mendorong kepentingan terbaik anak].
- Standard IX Model Standards of Practice for Family and Divorce Mediation menyebutkan: A family mediator shall recognize a family situation involving child abuse or neglect and take appropriate steps to shape the mediation process accordingly. [Seorang mediator keluarga akan mengenal situasi keluarga yang melibatkan kekerasan dan pengabaian terhadap anak dan akan mengambil langkah-langkah yang tepat untuk membentuk proses mediasi].
- Standard X Model Standards of Practice for Family and Divorce Mediation menyebutkan: A family mediator shall recognize a family situation involving domestic abuse or neglect and take appropriate steps to shape the mediation process accordingly. [Seorang mediator keluarga akan mengenal situasi keluarga yang melibatkan kekerasan dalam rumah tangga dan akan mengambil langkah-langkah yang tepat untuk membentuk proses mediasi]. As such, its main feature is that a mediator has no advisory role as to the content or outcome of the negotiation. It is different from consiliation as a consiliator may suggest a solution. It is also different from arbitration since an arbitrator, similar to a judge, will finally make a determination. Dengan demikian, gambaran utamanya adalah bahwa seorang mediator tidak memiliki peranan menasehati terhadap isi atau hasil negosiasi. Mediasi berbeda dengan seorang konsiliator yang dapat menyarankan suatu solusi. Berbeda pula dengan arbitrase karena arbitrator mirip dengan hakim yang akhirnya akan membuat keputusan.
Hambatan Pelaksanaan
Mediasi
Sebagaimana telah
disebutkan diatas, adanya mediasi dalam rangkaian proses penyelesaian
sengketa perkawinan telah memperkokoh building block upaya damai
yang dimandatkan kepada hakim sebelum akhirnya memutus tali
perkawinan antara suami isteri. Namun demikian, ternyata fakta yang
ada menunjukkan sesuatu yang terkesan paradoks. Semakin tersedia
upaya damai dalam berbagai bentuknya, kegagalan perdamaian dalam
perkara perceraian tetap tinggi, bahkan mengesankan
instrumen-instrumen tersebut tidak menunjukkan keampuhannya untuk
membendung “arus deras” perceraian.
Berdasarkan data yang
dilansir website Badan Peradilan Agama, www.badilag.net, tingkat
keberhasilan mediasi masih sangat rendah. Keberhasilan mediasi masih
jauh dari harapan, karena baru mencapai kurang dari 10%. Jumlah ini
tidak jauh berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya, sebelum Perma No. 1
Tahun 2008 diberlakukan. Wahyu Widiana, dengan menggunakan prosentase
perkara yang dicabut sebagai indikator keberhasilan perdamaian atau
upaya damai, menyebutkan prosentase yang didamaikan pada tahun 2007
adalah sebesar 5,2%. Besaran tersebut merupakan besaran terkecil dari
keberhasilan perdamaian sejak tahun 2003, karena antara tahun 2003
hingga tahun 2007 keberhasilan perdamaian atau upaya damai berkisar
antara 5,2% - 5,4%.
Kenyataan ini sangat
berbanding terbalik dengan hasil-hasil yang dicapai oleh Family Court
Australia yang lazim dijadikan referensi Pengadilan Agama di
Indonesia dalam berbagai hal, seperti soal tata kelola pengadilan
yang baik, penataan pelayananan pengadilan, termasuk mediasi. Menurut
Leisha Lister, Executive Advisor to the CEO of the Family Court of
Australia, hanya 5% dari seluruh perkara yang diterima FCoA berakhir
dengan putusan hakim. Ini berarti sisanya terselesaikan melalui
proses mediasi yang dilaksanakan oleh Family Relationship Center.
Berbagai analisa
dikemukakan oleh berbagai kalangan mengenai penyebab rendahnya hasil
mediasi yang dilakukan di Pengadilan Agama. Wahyu Widiana, misalnya,
menyebutkan kondisi permasalahan rumah tangga yang sudah sangat parah
menjadi penyebab kegagalan proses mediasi di Pengadilan Agama.
Kondisi yang sudah parah tersebut dalam bahasa psikologi perceraian
menunjukkan bahwa
masing-masing pasangan telah memasuki tahapan re-entry, yakni suatu
tahapan dimana masing-masing pasangan suami isteri telah menurunkan
tensi ketegangan soal hubungan perkawinan dan lebih melihat kedepan
bagaimana menjalani hidup tanpa terikat dalam hubungan suami isteri
lagi dengan pasangan. Bagi mereka dalam tahapan psikologis ini,
hubungan perkawinan adalah masa lalu yang tidak mungkin akan dapat
dikembalikan seperti semula.
Disinilah persoalan
problematik mediasi muncul, yakni untuk apakah mediasi dilakukan ?
Jika dilakukan dalam rangka menegosiasikan kembali soal hubungan
suami isteri, tentu akan sia-sia. Dalam kondisi re-entry ini, boleh
jadi masing-masing pasangan telah melewati kondisi-kondisi yang
tragis dan traumatik dalam hubungan dan lingkungan, sehingga
mengupayakan untuk memediasi dalam konteks berbaikan lagi akan
menjadi kontra produktif.
Implikasi paling kasat
mata dari kenyataan ini adalah, jika secara linier tetap dinyatakan
bahwa ukuran keberhasilan mediasi adalah jika pasangan suami isteri
secara legowo mau kembali bersatu, kemungkinan
keberhasilannya jelas sangat kecil, untuk mengatakan tidak mungkin
sama sekali. Namun demikian, memandang kenyataan ini tidak memerlukan
mediasi boleh jadi juga keliru.
Diane Neumann, seorang
mediator perceraian di Amerika Serikat menyatakan mediasi dalam
tahapan psikologis ini relatif lebih lancar, karena individu
terlibat dalam kehidupan yang baru. Meskipun bahwa pasangan memiliki
perasaan yang kuat terhadap pasangannya dan perasaan itu mempengaruhi
kehidupan mereka, individu menerima akhir dari perkawinan dan
berlanjut dengan kehidupan yang baru dan berubah. Sehingga, lanjut
Diane, mediasi pada tahapan ini memiliki keuntungan-keuntungan,
seperti lebih efisien, menekankan pada masa depan, dan relatif tidak
memusingkan.
Apa yang dimediasi pada
tataran ini berdasarkan penelusuran sejumlah literatur ternyata
bukan bagaimana pasangan menegosiasikan kembali hubungan perkawinan,
melainkan menegosiasikan masalah-masalah yang akan terjadi setelah
perceraian benar-benar terjadi, seperti perencanaan pengasuhan anak
(parenting plan), pembagian harta bersama, biaya hidup, dan
lain-lain. Dan hal-hal inilah yang umumnya mendominasi pembahasan
mediasi di berbagai negara.
Dalam konteks ini,
Penulis tertarik dengan salah satu visi Family Court of Australia,
Furthering functional family relationship after separation
(Melanjutkan hubungan keluarga secara fungsional setelah
perpisahan/perceraian). Visi ini dalam pandangan hipotetis Penulis
merujuk kepada suatu pandangan bahwa meskipun perceraian diantara
pasangan suami isteri telah terjadi, namun hubungan keluarga tidak
berakhir, melainkan terestrukturisasi dan tereorganisasi dalam dua
keluarga inti yang baru dan masing-masing memiliki hubungan satu sama
lain. Dua keluarga inti yang diistilahkan oleh C. Ahrons sebagai
binuclear family, terdiri dari ayah dan anak di satu sisi dan ibu dan anak di sisi yang
lain. Hubungan diantara kedua keluarga inti ini tetap berlangsung
secara fungsional, terutama dan
paling utama untuk kepentingan pengasuhan anak (parenting).
Perceraian dengan segala
akibatnya sering kali menafikan realitas ini sehingga dampak
perceraiansangat dirasakan oleh anak-anak dengan hilangnya
fungsi-fungsi parenting dari orang tua yang telah berpisah. Mediasi
keluarga sebelum perceraian benar-benar terjadi kemudian menjadi
penting diarahkan pada upaya membangun pemahaman dan kesepakatan
mengenai kelangsungan keluarga, meskipun dalam rumah tangga yang
berbeda. Kesan mediasi diarahkan kepada ranah ini terlihat pada
beberapa publikasi Family Relationship Center.
Hal serupa juga
nampaknya berlaku dalam pelaksanaan mediasi keluarga di Malaysia.
Menurut Pasal 47 ayat (5) The Islamic Family Law Act Tahun 1984,
apabila salah satu pihak tidak menginginkan perceraian atau nampak
bagi pengadilan adanya kemungkinan terjadi rekonsiliasi antara
pihak-pihak, maka pengadilan sesegera mungkin menunjuk suatu komite
perdamaian (a reconciliary committee) yang terdiri dari pegawai
urusan agama sebagai ketua dan dua orang lain, satu orang bertindak
mewakili suami dan lainnya mewakili isteri dan pengadilan menyerahkan
perkara tersebut kepada komite. Tugas komite ini adalah mencari
kemungkinan perdamaian diantara suami isteri melalui
serangkaian pertemuan untuk mendiskusikan masalah-masalah rumah
tangga yang muncul dalam waktu enam bulan.
Apabila dalam enam bulan
upaya perdamaian oleh komite ini tidak dapat diupayakan dan para
pihak tidak mau menarik perkaranya, maka komite akan mengeluarkan
surat terkait hal tersebut dan dapat melampirkan
rekomendasi-rekomendasi yang dipandang perlu terkait dengan
pemeliharaan anak-anak, jika ada, pembagian kekayaan bersama dan
hal-hal lainnya yang terkait dengan perkawinan. Artinya, dalam
pertemuan komite, selain upaya mendamaikan juga dibicarakan hal-hal
yang terkait dengan kelangsungan keluarga jika hubungan suami isteri
terputus.
Berdasarkan
gambaran-gambaran tersebut, menjadi pertanyaan kita kemudian, mengapa
mediasi Pengadilan Agama tidak dapat menyentuh hal-hal yang terkait
dengan kelangsungan keluarga pasca perceraian. Dugaan penulis, dan
hal tersebut memang banyak ditemukan, mediator pengadilan agama
berkecenderungan untuk mengambil benchmark dari gugatan atau
permohonan yang diajukan untuk kepentingan ajudikasi dan selanjutnya
proses mediasi berfokus dan bergerak dalam lingkup benchmark
tersebut. Artinya, jika gugatan atau permohonan berkisar pada masalah
perceraian, maka mediasi dikembangkan dalam lingkup perceraian
semata, dengan mengasumsikan tujuan pada bagaimana mencari jalan
penyelesaian untuk berdamai dengan membangun kembali rumah tangga.
Jika mediasi diharapkan
dapat memberikan penyelesaian yang bersifat menyeluruh dan holistik
terhadap masalah rumah tangga, maka seyogyanya benchmark yang
dipergunakan dalam memulai proses mediasi tidak terlalu sempit.
Perluasan benchmark mediasi diharapkan dapat memperluas tema-tema
negosiasi dan tawar menawar para pihak, sehingga
kemungkinan-kemungkinan timbulnya perkara yang bersifat assesoir
dapat terselesaikan juga melalui mediasi. Dan mungkin dengan begitu
potensi perkara yang akan diajukan, baik secara rekonvensi atau
perkara tersendiri dapat terselesaikan lebih awal. Praktek mediasi
yang dilakukan di berbagai negara, sebagaimana sebagian telah terurai
dimuka, dapat memberikan justifikasi yang kuat atas pandangan ini.
Persoalan lain yang juga
menjadi hambatan pelaksanaan mediasi keluarga di Pengadilan Agama
adalah tingginya jumlah perkara yang diperiksa tanpa hadirnya salah
satu pihak, yakni Termohon atau Tergugat. Oleh karena mediasi
mengandaikan adanya negosiasi diantara pihak-pihak berperkara, maka
sangatlah tidak mungkin membayangkan terjadinya mediasi jika yang
hadir hanyalah satu pihak saja.
Adanya hipotesis yang
menyatakan bahwa mediasi dapat dilakukan tanpa hadirnya salah satu
pihak atas dasar relevansi dan semangatnya sesuai dan sebangun dengan
makna Pasal 130 HIR/154 RBg perlu dikaji lebih akurat. Pasal 130
HIR/154 RBg dalam konstruksi rumusan kaidahnya secara eksplisit juga
mengandaikan kehadiran pihak-pihak berperkara dalam proses
perdamaian. Artinya, ikhtiar perdamaian dalam pasal ini juga tetap
didasarkan atas persetujuan eksplisit pihak-pihak berperkara.
Ketidakhadiran salah satu
pihak dalam persidangan perceraian, sepanjang ketidakhadirannya itu
disebabkan oleh suatu alasan yang sah menurut hukum, secara
psikologis disebabkan oleh banyak faktor. Pertama, anggapan
sebagian besar masyarakat bahwa perceraian tidak akan terjadi
bilamana pihak suami tidak menanda tangani surat cerai. Penulis sama
sekali tidak mengetahui latar belakang munculnya pemikiran tersebut,
tetapi ditemukan baik di wilayah perkotaan maupun pedesaan. Dengan
tidak hadir di persidangan salah satu pihak berusaha untuk
mempertahankan mahligai rumah tangganya karena berasumsi Pengadilan
tidak akan dapat menjatuhkan putusan tanpa kehadirannya.
Kecenderungan perilaku ini muncul manakala pasangan yang tidak
mengajukan perceraian (atau menjadi Tergugat/Termohon) tidak menerima
atas pengajuan tersebut, meskipun alasan keberatannya tidak selalu
rasional. Keberatannya kemudian mendorongnya untuk melakukan berbagai
hal yang diharapkannya dapat membatalkan keputusan pihak yang
mengajukan perceraian. Dan salah satu bentuknya adalah memilih untuk
tidak hadir di persidangan.
Menurut Diane Neumann,
ketika pertama kali non-initiator (orang yang tidak menjadi
pengambil inisiatif bercerai) mendengar dan mengetahui adanya maksud
pihak lain untuk bercerai, ia akan merasa tidak percaya bercampur
penolakan terhadap kenyataan perceraian. Bahkan pihak tersebut
menjadi penentang terjadinya perceraian dan mengarahkan semua
energinya untuk menolak perceraian. Dan karena tidak memiliki
kekuatan untuk membatalkan keputusan cerai, akibatnya muncul
perasaan-perasaan tidak ada belas kasihan dan kehilangan kontrol
diri. Ia seringkali bereaksi dengan dua cara yang ekstrim, yakni
membiarkan initiator memutuskan apa saja tentang perceraian atau
berusaha mengontrol pengambilan keputusan.
Kedua, jika perceraian
diajukan oleh seseorang yang dominan dipandang sebagai „korban‟,
pihak lain yang dipandang sebagai „subyek pelaku‟ penyebab
masalah rumah tangga cenderung memilih tidak hadir dan menjadikan
ketidakhadirannya sebagai bentuk “penghindaran” dari kemungkinan
mengakui secara terus terang masalah rumah tangganya. Dan apabila
pasangan yang mengajukan yang membukanya, maka dengan ketidak
hadirannya, kemungkinannya akan sangat kecil dia akan merasa
dipermalukan.
Akan tetapi, dengan
ketidakhadirannya di persidangan, maka hampir tidak dapat dipastikan
apakah ketidakhadirannya tersebut merupakan indikasi penolakan
ataukah memang menghendaki perceraian dengan segala akibat hukumnya,
tetapi tidak mau menyelesaikannya karena berbagai hal.
Berdasarkan asumsi-asumsi
ini, keputusan Rakernas Mahkamah Agung tahun 2009 yang menyatakan
bahwa mediasi tidak dapat dilaksanakan tanpa hadirnya salah satu
pihak dalam konteks ini kemudian kita pahami sebagai konsistensi atas
konsepsi mediasi yang meniscayakan kehadiran para pihak dan memiliki
semangat yang sama dan sebangun dengan Pasal 130 HIR/154 RBg,
meskipun teknis operasionalnya berbeda satu sama lain.
Pemahaman lebih sederhana
untuk menjelaskan tidak dapat dilaksanakannya mediasi karena salah
satu pihak tidak hadir adalah tidak terpenuhinya aspek-aspek
konstitutif mediasi sebagaimana diuraikan diatas, yakni pihak-pihak
yang berperkara dan negosiasi. Pihak-pihak dimaksud berarti tidak
tunggal dan negosiasi memiliki implikasi makna timbal balik
(reciprocal).
Di Malaysia,
ketidakhadiran para pihak atau wakilnya dalam pertemuan komite
perdamaian juga mengakibatkan pranata perdamaian tersebut tidak
menjadi pilihan efektif. Akibatnya komite
perdamaian dapat dengan serta merta
kemudian menyatakan upaya perdamaian tidak mencapai hasil sama
sekali.
Tantangan Mediasi
Keluarga bagi Pengadilan Agama
Aspek-aspek materiil yang
terkandung didalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan
Agama, memiliki substansi yang seide dan sebangun dengan
Undang-Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan. Dalam
konteks inilah kemudian dipahami bahwa Pengadilan Agama merupakan
pelaksana Undang-Undang Perkawinan, khususnya dalam penyelesaian
sengketa keluarga.
Undang-undang perkawinan,
sebagaimana disebutkan dalam penjelasan Undang-Undang Peradilan
agama, bertujuan untuk melindungi kaum wanita pada umumnya dan para
isteri pada khususnya. Afirmasi perlindungan tersebut sebagian telah
terurai dalam sisi-sisi formal penanganan perkara perceraian, seperti
pengajuan perceraian yang berbasis domisili isteri, kewenangan
ex-officio hakim dalam memberikan nafkah, kiswah, dan maskan serta
mut‟ah. Dan pada tataran yang lebih fundamental, perlindungan itu
kemudian dapat pula berarti dan sebangun dengan salah satu prinsip
undang-undang perkawinan untuk mempersukar terjadinya perceraian.
Gambaran ringkas mengenai
tujuan undang-undang perkawinan yang dimandatkan kepada Pengadilan
Agama tersebut cukup kuat untuk dijadikan sebagai baseline memahami
besaran tantangan yang dihadapi oleh Pengadilan Agama ketika
disuguhkan „menu‟ mediasi sebagai pendekatan penyelesaian
sengketa keluarga. Artinya kemudian, mediasi setidak-tidaknya juga
harus ditempatkan dalam kerangka pemahaman tersebut.
Persoalannya kemudian,
dengan menempatkan mediasi dalam kerangka berfikir tersebut,
Pengadilan Agama tidak luput dari kekurangan-kekurangan dalam
melaksanakan mediasi, meskipun Perma mediasi masih memberikan
toleransi, seperti jika tidak ada mediator bersertifikat, baik dari
kalangan luar pengadilan agama yang terdaftar sebagai mediator
maupun hakim, maka hakim yang tidak bersertifikat pun dapat bertindak
sebagai mediator.
Sebagaimana feature
tentang knowledge, skill, dan attitude yang diuraikan diatas, nampak
jelas profiling seorang hakim berbeda secara substansial dengan
seorang mediator. Dan ketika seorang hakim harus menjalankan
peran-peran mediator, maka bagaimana mempersempit ruang kesenjangan
(space of discrepancy) menjadi sesuatu yang tak terelakkan. Kita
tentu tidak bisa berpepatah, tidak ada rotan, akar pun jadi, karena
tantangan seorang hakim sebagai mediator pada akhirnya adalah
tantangan Pengadilan Agama juga, khususnya yang terkait dengan mandat
hukum Pengadilan Agama.
Selain itu, dari beberapa
uraian tentang mediasi keluarga diatas, nature mediasi keluarga
adalah unik dan khas. Disamping merefleksikan common sense mediasi,
mediasi keluarga juga memiliki kekhususan-kekhususan yang tidak saja
harus dimiliki oleh seorang mediator melalui penalaran dan pemahaman
dialektisnya, tetapi juga harus dirumuskan sebagai suatu model
standar pelaksanaan mediasi di Pengadilan Agama. Oleh karena Perma
Mediasi berorientasi pada pengadilan secara umum, maka keunikan pada
mediasi keluarga yang dilaksanakan di Pengadilan Agama menjadi
terkesampingkan.
Akhirnya, jalan panjang
menuju mediasi keluarga yang ideal di Pengadilan Agama masih
terhampar luas. Tantangan-tantangan memerlukan jawaban, dan semoga
seiring perjalanan waktu menuju pendewasaan program mediasi dan pasar
bebas gagasan (free market of idea) di lingkungan Pengadilan Agama
dapat memberikan respons yang memadai. Semoga!
Daftar Bacaan
- Drs. Najamuddin, SH., MH dan Candra Boy Seroza, M. Ag, “Beberapa Permasalahan Mediasi dalam Teori dan Praktek di Pengadilan Agama”, Makalah Rakerdagab Peradilan Se-Sumatera Utara, Tahun 2009
- Family Court of Australia, Annual Report 2008-2009, Australia: Commonwealth of Australia, 2009
- Hak, Nora Abdul, The Role of The Conciliatory Committee and Hakam (Arbitrator): The Practice and Provisions of The Islamic Family Law in Malaysia, Makalah disampaikan dalam Asia Pasific Mediation Forum Conference 2008, diselenggarakan oleh Harun M. Hashim Law Center, International Islamic University Malaysia tanggal 16-18 Juni 2008
- Kapplan, Robert S dan David P. Norton, Strategy Maps: Converting Intangible Assets into Tangible Outcomes, Massachusetts: Harvard Business School Publishing Corporation, 2004
- Mahkamah Agung Republik Indonesia, Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2008 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan.
- Mahmud, Mek Wok dan Haneef, Sayed Sikandar Shah, Mediation in Resolving Marital Conflicts: An Appraisal of Classical Fiqh and Contemporary Application, Makalah disampaikan dalam Asia Pasific Mediation Forum Conference 2008, diselenggarakan oleh Harun M. Hashim Law Center, International Islamic University Malaysia tanggal 16-18 Juni 2008
- Nasution, Khoiruddin, Status Wanita di Asia Tenggara: Studi terhadap Perundang-undangan Perkawinan Muslim Kontemporer di Indonesia dan Malaysia, (Leiden-Jakarta: INIS, 2002)
- Pengadilan Agama Simalungun, Pedoman Teknis Pelaksanaan Mediasi pada Pengadilan Agama Simalungun, Simalungun: PA. Simalungun, 2008
- Pengadilan Tinggi Agama Banten, Pedoman Teknis Pelaksanaan Mediasi Pengadilan Agama dalam Wilayah Hukum Pengadilan Tinggi Agama Banten, Banten: PTA Banten, 2009
- Republik Indonesia, Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.
- Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
- Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama
- Roberts, Marian, Mediation in Family Disputes: Principles and Practice (3rd Edition), Hampshire:
- Ashgate Publishing Ltd., 2008
- Widiana, Wahyu, Upaya Penyelesaian Perkara Melalui Perdamaian di Pengadilan Agama, Kaitannya dengan BP4, Makalah disampaikan pada Rakernas BP4 tanggal 15 Agustus 2008 di Jakarta
- Soebagjo, Felix Oentoeng, Mediasi sebagai Alternatif Penyelesaian Sengketa di Bidang Perbankan,
- Bahan diskusi terbatas “Pelaksanaan Mediasi Perbankan oleh Bank Indonesia dan Pembentukan Lembaga Independen Mediasi Perbankan” Kerjasama Magister Hukum Bisnis dan Kenegaraan, Universitas Gajah Mada, Yogyakarta dan Bank Indonesia di Yogyakarta tertanggal 21 Maret 2007
Tidak ada komentar:
Posting Komentar