BEBERAPA
PEMlKIRAN MENGENAI PENYELESAIAN SENGKETA
DI
BIDANG EKONOMI KEUANGAN Dl LUAR PENGADILAN
By : Prof. Dr. Mariam Darus,
S.H.
(Senior Partner pada Law
Offices of Remy & Darus. Jakarta &Guru Besar Hukum Perdata
pada Univesitas Yarsi, Jakarta)
A.
PENDAHULUAN
Pertama-tama Penulis
mengucapkan terima kasih kepada Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN)
Dept. Kehakiman dan HAM RI, yang telah memberi kepercayaan kepada
Penulis untuk menyajikan kertas kerja dengan berpedoman pada ruang
lingkup sebagai berikut:
- Penyusunan pranata dan lembaga penyelesaian sengketa alternatif di bidang ekonomi dan keuangan diluar pengadilan (alternative dispute resolution (ADR).
- Perbaikan lembaga dan hukum materiil.
Mengacu kepada pedoman
ini, maka makalah yang Penulis sajikan berkisar pada judul diatas.
Undang-undang tentang
Ketentuan-Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman Nomor 14 Tahun 1970 (UU
Pokok Kekuasaan Kehakiman) menyerahkan kekuasaan kehakiman pada Badan
Peradilan, yaita peradilan umum, peradilan agama, peradilan militer
dan peradilan tata usaha negara yarag masing-masing diatur dalam
undang-undang tersendiri.
UU ini menentukan pula
bahwa penyelesaian sengketa diluar pengadilan (Out of Court
Settlement (OCS)) atas dasar perdamaian atau arbitrase tetap
diperbolehkan, akan tetapi putusan arbiter hanya mempuyai kekuatan
eksekutorial setelah izin atau perintah untuk eksekusi (executoir)
dari Pengadilan (Ps. 3 ayat (I) UU Pokok Kekuasaan Kehakiman).
Penyelesaian sengketa
melalui perdamaian berakar dalam budaya masyarakat. Dilingkungan
masyarakat adat (tradisional) dikenal runggun adat, kerapatan adat,
peradilan adat atau peradilan desa. Lembaga musyawarah, mufakat dan
tenggang rasa merupakan falsafah negara yang digali dari hukum adat,
dipratekkan dalam kehidupan sehari-hari.
Hukum positif mengatur
perdamaian ini didalam pasal 130 ayat (1) HIR. Dikatakan bahwa
perdamaian boleh dilakukan antara para pihak yang bersengketa dan
perdamaian itu dituangkan dalam akte perdamaian, yang mempunyai
kekuatan hukum tetap seperti putusan hakim dan bersifat final,
artinya tidak boleh dilakukan banding atau kasasi.
Didalam perjalanan waktu,
ikatan kekeluargaan yang berdasarkan paguyuban (gemeenschappelijke
verhoudingen) memudar dan berkembang kearah masyarakat yang
peternbayan (zakelijke gemeenschap) dimana perhitungan untung rugi
lebih menonjol, maka lembaga peradilan dijadikan wadah untuk
menyelesaikan sengketa, karena perangkat hukum yang tersedia telah
memperoleh bentuk yang lengkap dan sempurna.
Namun dilingkungan
masyarakat pedagang yang membutuhkan gerak cepat, terlibat dalam
hubungan-hubungan global, maka perhitungan untung rugi terjadi dalam
momen-momen dalam hitungan detik, bukan jam, hari dan bulan serta
perhitungan biaya menjadi unsur penting, maka jika timbul sengketa
dibutuhkan penyelesaian yang dan tepat serta dapat dilaksanakan
(eksekusi). Memasuki era globalisasi dirasakan kebutuhan untuk
meningkatkan kesejahteraan melalui perbaikan perangkat hukum dalam
bidang ekonomi keuangan beserta penyelesaian sengketa yang timbul
daripadanya sangat mendesak dan karena itu perlu disempurnakan.
B.
PENYELESAIAN SENGKETA BERDlMENSI HUKUM PERDATA
- Arbitrase dan APSU
Pada
tahun 1999 dengan UU Nomor 30 Tahun 1999 telah diundangkan UU
Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa (APSU). UU ini adalah
pembaharuan dari pasal 615 sampai dengan pasal 651 Reglemen Acara
Perdata (Reglement op de Rechtsvoredering. Staatblad 1847 : 52) dan
pasal 377 Reglemen Indonesia yang diperbaharui (Het Herziene
lndonesisch Reglement, Staatblad 1941 : 44 dan pasal 705 Reglement
acara untuk daerah Luar Jawa dan Madura (Rechtsreglement
Bujtenewesten, Staatblad 1927: 227)
UU
Arbitrase dan APSU Nomor 30 Tahun 1999 merupakan aturan pokok dari
APSU. Menurut Penulis, Arbitrase adalah salah satu bentuk dari APSU.
Lembaga Arbitrase disebutkan di dalam UU itu, karena sudah mempunyai
bentuk tertentu dan pasti yang dituangkan secara khsusus. APSU adalah
pengertian genus, yang didalam UU itu disebut konsukasi, negosiasi,
konsiliasi dan negosiasi. APSU hanya diatur di dalam 1 (satu)
ketentuan, yaitu Pasal 6 tanpa Penjelasan. APSU ini masih mencari
bentuk yang kokoh yang memberikan kepastian hukum. Bagaimana
operasional / teknis proses APSU masih dalam perkembangan dan hal ini
tidak memadai dan tidak akan menjadi pilihan, jika dibiarkan hanya
pada kebiasaan dan praktek. Untuk itu perlu dipikirkan untuk
membentuk Lembaga APSU yang setara dengan Lembaga Arbitrase seperti
BANI dan BAMUI.
- Penyelesaian Sengketa Berdimensi Hukum Perdata Dalam Undang-Undang Khusus
Disamping
UU Pokok itu terdapat sejumlah undang-undang yang mengatur Arbitrase
dan Alternatif Penyelesaian Sengketa (APS) untuk bidang-bidang
tertentu. Jika di dalam bidang-bidang itu terjadi sengketa maka para
pihak yang bersengketa wajib menempuh penyelesaian yang diatur oleh
UU itu (compulsory dispute resolution). UU itu adalah sebagai
berikut:
- Arbitrase, mediasi dan lembaga penyelesaian perselisihan industrial (UU tentang Ketenagakerjaan Nomor 25 Tahun 1997);
- Arbitrase dan musyawarah untuk mencapai mufakat diantara para pihak yang berselisih (UU tentang Perdagangan Berjangka Komoditi Nomor 32 Tahun 1997);
- adan Penyelesaian Sengketa Konsumen (UU tentang Perlindungan Konsumen Nomor 8 Tahun 1999);
- Penggunaan jasa pihak ketiga yang disepakati para pihak yang dibentuk masyarakat jasa konstruksi atau Pemerintah (UU tentang Jasa Konstruksi Nomor 18 Tahun 1999);
- Penggunaan jasa pihak ketiga yang dapat dibentuk oleh masyarakat atau Pemerintah yaitu lembaga penyedia jasa pelayanan penyelesaian sengketa lingkungan hidup (UU tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup Nomor 23 Tahun 1997);
- Arbitrase atau alternatif penyelesaian sengketa (UU tentang Merek Nomor 15 Tahun 2001);
- Komisi Pengawas Persaingan Usaha untuk menyelesaikan sengketa dalam praktek monopoli dan persaingan usaha tidak sehat (UU tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat Nomor 5 Tahun 1999)
Dengan
adanya UU diatas, maka ruang lingkup UU Arbitrase dan APSU menjadi
lebih sempit penggunaannya karena sengketa yang terjadi didalam
bidang-bidang tersebut diatas wajib diselesaikan menurut UU itu
(Compulsory Dispute Resolution).
- PENYELESAIAN SENGKETA EKONOMI DAN KEUANGAN BERDIMENSI HUKUM PUBLIK
Di bidang ekonomi dan
keuangan penyelesaian sengketa diselesaikan melalui lembaga-lembaga
khusus sebagai berikut :
- Panitia Urusan Piutang Negara (PUPN) / Badan Urusan Piutang dan Lelang Negara (BUPLN) ditemukan dalam UU Nomor 49 Prp 1960;
- Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) ditemukan dalam UU Nomor 10 Tahun 1998 jo. PP Nomor 27 Tahun 1999 tentang BPPN;
- Bapepam ditemukan dalam UU Nomor 8 Tahun 1985 tentang Pasar Modal.
UU diatas mengandung karakter APS yang berbeda dengan karakter APSU
yang berbentuk Arbitrase dan bukan Arbitrase (konsultasi, negosiasi,
konsiliasi, mediasi). Hal ini lebih jauh akan dianalisa kemudian.
D.
ARBITRASE
1. Definisi
Arbitrase adalah cara
penyelesaian suatu sangketa perdata diluar peradilan umum yang
didasarkan pada perjanjian arbitrase yang dibuat secara tertulis oleh
para pihak yang bersengketa (Ps.1 ayat (1)). Dalam Ps. 5 ayat (1)
ditentukan bahwa sengketa yang dapat diselesaikan melalui arbitrase
hanya sengketa di bidang perdagangan dan mengenai hak menurut hukum
dan peraturan perundang-undangan dikuasai sepenuhnya oleh pihak yang
bersengketa.
Para pihak adalah subyek
hukum baik menurut hukum perdata maupun publik. Perjanjian arbitrase
adalah suatu kesepakatan berupa klausul arbitrase yang tercantum
dalam perjanjian tertulis yang dibuat para pihak sebelum timbul
sengketa
(Pactum decompromittendo
) atau suatu perjanjian arbitrase tersendiri yang dibuat para pihak
setelah timbul sengketa (Acte compromise).
Lembaga arbitrase adalah
badan yang dipilih para pihak yang bersengketa untuk memberikan
putusan mengenai sengketa tertentu. Lembaga tersebut juga dapat
memberikan pendapat yang mengikat tentang suatu hubungan hukum
tertentu dalam hal belum timbul sengketa.
Beberapa pertimbangan
untuk membentuk 1embaga Arbitrase adalah sebagai berikut :
- Berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku penyelesaian sengketa perdata disamping dapat dilakukan ke peradilan umum juga terbuka kemungkinan penyelesaian sengketa diajukan melalui Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa.
- Peraturan perundang-undangan yang kini berlaku untuk penyelesaian sengketa melalui arbitrase sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan dunia usaha dan hukum pada umumnya.
- Berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan b perlu membentuk undang-undang tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa.
UU ini mengatur
penyelesaian sengketa atau beda pendapat antar pihak dalam suatu
hubungan hukum tertentu yang telah mengadakan perjanjian arbitrase
yang secara tegas menyatakan bahwa semua sengketa atau beda pendapat
yang timbul atau yang mungkin timbul dari hubungan hukum tersebut
akan diselesaikan dengah cara arbitrase atau melalui alternatif
penyelesaian sengketa.
Merupakan pertanyaan
apakah lembaga arbitrase berwenang memeriksa sengketa kepailitan
Berdasarkan keputusan Mahkamah Agung RI, putusan Nomor 21 PK/N/1999
menentukan bahwa perkara kepailitan tidak dapat diajukan
penyelesaiannya kepada arbitrase karena telah diatur secara khusus
dalam UU Nomor 4 Tahun 1998. Sesuai dengan ketentuan Pasal 180 ayat
(1) UU Nomor 4 tahun 1998 yang berwenang memeriksa dan memutus
perkara ini adalah Pengadilan Niaga.
Menurut Penulis,
seyogianya sengketa arbitrase dapat menjadi wewenang arbitrase karena
sifatnya terletak dalam bidang ekonomi keuangan.
II. Kelebihan Lembaga
Arbitrase
Pada umumnya lembaga ini
mempunyai kelebihan dibandingkan dengan lembaga peradilan lainnya.
Kelebihan tersebut adalah
:
- Dijamin kerahasiaan sengketa para pihak;
- Dapat dihindari kelambatan yang diakibatkan karena hal prosedural dan administratif;
- Para pihak dapat memilih arbiter yang menurut keyakinannya mempunyai pengetahuan, pengalaman dan latar belakang yang cukup mengenai masalah yang disengketakan, jujur dan adil;
- Para pihak dapat memilih hukum apa yang akan diterapkan untuk penyelesaian masalahnya serta proses dan tempat penyelenggaraan arbitrase.
- Asas-Asas
Asas-asas dari arbitrase
adalah sebagai berikut:
- Penyelesaian sengketa diluar pengadilan;
- Kebebasan berkontrak yang bertanggung jawab. Berdasarkan asas ini para pihak mengadakan kesepakatan tertulis (klausula arbitrase);
- Para pihak bebas menentukan hukum materiil, acara, tempat, jadwal pemeriksaan sengketa;
- Kekuatan mengikat perjanjian (Pacta Sunt Servada);
- Ruang lingkup terletak dalam bidang perdagangan;
- Keputusan bersifat final dan binding (tidak ada hak banding dan kasasi);
- Bersifat rahasia (confidensial);
- Proses cepat;
- Biaya murah;
- Para pihak bebas menentukan arbiter, jadual sidang;
- Putusan dapat dieksekusi;
- Keputusan arbitrase berkekuatan mutlak.
Dengan perkembangan dunia
usaha dan perkembangan lalu lintas di bidang perdagangan baik
nasional maupun internasional serta perkembangan hukum pada umumnya
maka peraturan yang terdapat dalam Reglemen Acara Perdata (Reglement
op de Rechtsvordering) yang dipakai sebagai pedoman arbitrase sudah
tidak sesuai lagi sehingga perlu disesuaikan karena pengaturan dagang
bersifat internasional sudah merupakan kebutuhan conditio sine qua
non sedangkan hal tersebut tidak diatur dalam Reglemen Acara Perdata
(Reglement op de Rechtsvordering). Bertolak dari kondisi ini,
perubahan yang mendasar terhadap Rv, baik secara filosofis maupun
substantif sudah
saatnya dilaksanakan.
IV. Kerangka UU
Arbitrase dan APSU
Arbitrase yang diatur di
dalam UU Arbitrase dan APSU, mengandung ruang lingkup kerangka
sebagai berikut:
Bab I : Ketentuan
umum.
Bab II : Mengatur
mengenai alternatif penyelesaian sengketa melalui cara musyawarah
kedua belah pihak yang bersengketa. Alternatif Penyelesaian Sengketa
(Alternative Dispute Resolution atau ADR) adalah lembaga penyelesaian
sengketa atau beda pendapat melalui prosedur yang disepakati para
pihak, yakni penyelesaian di luar pengadilan dengan cara konsultasi,
negosiasi,
mediasi, konsiliasi atau
penilaian ahli.
Bab III :
Memberikan suatu ikhtisar khusus dari persyaratan yang harus dipenuhi
untuk arbitrase dan pengangkatan arbiter serta mengatur mengenai hak
ingkar daripada pihak bersengketa.
Bab IV : Mengatur
tata cara untuk berencana di hadapan majelis arbitrase dan
dimungkinkannya arbiter mengambil putusan provisionil atau putusan
sela, penetapan sita jaminan, memerintahkan penitipan barang, atau
menjual barang yang sudah rusak serta mengenai pendengaran saksi dan
saksi ahli. Seperti halnya dengan keputusan pengadilan maka da1am
putusan arbitrase juga sebagai kepa1a putusan harus mencantumkan
"Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa".
Bab V : Menentukan
syarat lain yang berlaku mengenai putusan arbitrase. Dalam Bab ini
diatur pula kemungkinan terjadi suatu persengketaan mengenai wewenang
arbiter, pelaksanaan putusan arbitrase nasional maupun internasional
dan penolakan perintah pelaksanaan putusan arbitrase oleh Ketua
Pengadilan Negeri dalam tingkat pertama dan terakhir, dan Ketua
Pengadilan Negeri tidak memeriksa alasan atau pertimbangan dari
putusan arbitrase. Hal ini dimaksudkan untuk menjaga jangan sampai
penyelesaian sengketa melalui Arbitrase berlarut-larut. Berbeda
dengan proses pengadilan negeri dimana terhadap putusan para pihak
masih dapat mengajukan banding dan kasasi, maka dalam proses
penyelesaian sengketa melalui arbitrase tidak terbuka upaya hukum
banding kasasi maupun peninjauan kembali. Dalam rangka menyusun hukum
formil yang utuh, maka undang-undang ini memuat ketentuan tentang
pelaksanaan tugas arbitrase nasional maupun internasional.
Bab VI :
Menjelaskan mengenai pengaturan pelaksanaan putusan sekaligus dalam 1
(satu) paket agar undang-undang ini dapat dioperasionalkan sampai
pelaksanaan keputusan, baik yang menyangkut masalah arbitrase
nasional maupun internasional dan hal ini secara sistem hukum
dibenarkan.
Bab Vll :
Mengatur tentang pembatalan putusan arbitrase.
Hal inidimungkinkan
karena beberapa hal antara lain:
- Surat atau dokumen yang diajukan dalam pemeriksaan, setelah putusan dijatuhkan diakui palsu atau dinyatakan palsu;
- Setelah putusan diambil ditemukan dokumen yang bersifat menentukan yang sengaja disembunyikan pihak lawan; atau putusan diambil dari hasil tipu muslihat yang dilakukan oleh salah satu pihak dalam pemeriksaan sengketa.
Permohonan
pembatalan putusan arbitrase diajukan kepada Ketua Pengadilan Negeri
dan terhadap putusan Pengadilan Negeri tersebut hanya dapat diajukan
permohonan banding ke Mahkamah Agung yang memutus dalam tingkat
pertama dan terakhir.
Bab Vlll :
Mengatur tentang berakhirnya tugas arbiter, yang dinyatakan antara
lain bahwa tugas arbiter berakhir karena jangka waktu tugas arbiter
telah lampau dan kedua belah pihak sepakat untuk menarik kembali
penunjukan arbiter. Meninggalnya salah satu pihak tidak mengakibatkan
tugas yang telah diberikan kepada arbiter berakhir.
Bab IX : Mengenai
biaya arbitrase yang ditentukan oleh arbiter.
Bab X : Mengatur
mengenai ketentuan peralihan terhadap sengketa yang sudah
diajukan, namun belum
diproses, sengketa yang sedang dalam proses atau
yang sudah diputuskan dan
mempunyai kekuatan hukum tetap.
Bab XI :
Menyebutkan bahwa dengan berlakunya undang-undang ini maka Pasal 615
sampai dengan Pasal 651 Reglemen Acara Perdata (Reglement op de
Rechtsvordering, Staatsblad 1847: 52) dan Pasal 377 Reglemen
Indonesia yang Diperbaharui (Het Herziene Indonesisch Reglement,
Staatsblad 1941: 44 ) dan Pasal 705 Reglemen Acara untuk Daerah Luar
Jawa dan Madura (Rechtsreglement Buitengewesten,Staatsblad 1927:227)
dinyatakan tidak berlaku lagi.
E. ALTERNATIF
PENYELESAIAN SENGKETA UMUM (APSU)
I. Dasar hukum
APSU diatur di dalam
Pasal 6 UU Arbitrase dan APSU
II. Definisi
Alternatif penyelesaian
Sengketa adalah lembaga penyelesaian sengketa atau beda pendapat
melalui prosedur yang disepakati para pihak yakni penyelesaian
pengadilan dengan cara konsultasi, negosiasi, konsiliasi, atau
penilaian ahli.
III. Asas.Asas
1. Kebebasan berkontrak
(mufakat).
APS dilakukan oleh para
pihak didasarkan atas kesepakatan. Kesepakatan ini menunjuk pada asas
kebebasan berkontrak dimana pihak-pihak akan menyelesaikan
sengketanya secara musyawarah (konsultasi, negosiasi, konsiliasi atau
penilaian ahli).
2. Iktikad baik. Asas ini
berperan sebagai perekat bagi para pihak untUk dapat membahas
sengketa yang ada diantara mereka menurut kepatutan, terbuka dan
kedua pihak bertujuan untuk tidak pergi ke pengadilan.
3. Perjanjian mengikat
(Pacta Sunt Servanda).
4. Putusan terakhir dan
mengikat (final and binding).
5. Pendaftaran.
6. Kerahasiaan
(confidensial).
IV. Proses APSU
Proses penyelesaian
sengketa ini terjadi dalam tahapan sebagai berikut:
- Tahap pertama: Pertemuan langsung (Ps. 6 ayat (2)). Pertemuan langsung ini dilakukan para pihak dalam waktu paling lama 14 (empat belas) hari dan hasilnya dituangkan dalam suatu kesepakatan tertulis.
- Tahap kedua: Bantuan penasihat ahli atau mediator (Ps. 6 ayat (3)). Jika tidak dapat diselesaikan, maka atas kesepakatan tertulis para pihak sengketa atau beda pendapat diselesaikan melalui bantuan seorang atau lebih penasihat ahli maupun melalui seorang mediator
- Tahap ketiga: Penunjukan mediator melalui bantuan lembaga-lembaga APS atas permintaan para pihak (Ps.6 ayat (4)). Jika kata sepakat tidak tercapai atau mediator tadi tidak berhasil mempertemukan kedua belah pihak, maka para pihak dapat menghubungi sebuah lembaga alternatif penyelesaian sengketa untuk menunjuk seorang Mediator. Mediator adalah pihak ketiga yang netral (berada ditengah-tengah) yang memberikan bantuan kepada pihak-pihak yang bersengketa untuk mendapat penyelesaian yang memuaskan.
i. Dalam waktu paling
lama 7 (tujuh) hari usaha mediasi harus sudah dapat dimulai.
ii. Dalam waktu paling
lama 30 (tiga puluh) hari harus tercapai kesepakatan dalam bentuk
tertulis yang ditandatangani oleh semua pihak yang terkait.
iii. Kesepakatan
penyelesaian sengketa atau beda pendapat secara tertulis adalah final
dan mengikat para pihak.
iv. Pendaftaran putusan
itu wajib didaftarkan di Pengadilan Negeri dalam waktu paling lama 30
(tiga puluh) hari sejak penandatanganan.
v. Putusan sengketa wajib
dilaksanakan dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari sejak
pendaftaran.
- Tahap keempat : Arbitrase
Apabila usaha perdamaian
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) sampai dengan ayat (6) tidak
dapat dicapai, maka para pihak berdasarkan kesepakatan secara
tertulis dapat mengajukan usaha penyelesaiannya melalui lembaga
arbitrase dan arbitrase ad-hoc. Ketentuan Pasal 6 UU Arbitrase dan
APSU ini tidak mengatakan bahwa koneksitas antara tahap negosiasi
dengan lembaga APS dan lembaga Arbitrase harus terjadi secara
berurutan, yang secara imperatif harus dimulai dari negosiasi,
mediasi, yang diakhiri di Arbitrase. Dengan tidak adanya ketentuan
yang bersifat imperatif ini, maka para pihak yang bersengketa atau
beda pendapat mempunyai hak opsi untuk memilih, untuk langsung minta
penyelesaian ke Arbitrase atau ke APSU. Tentang cara konsultasi
negosiasi dan konsiliasi dilakukan dapat dilihat dari beberapa sudut
pandang. Di masyarakat tradisional yang mengenal lembaga perdamaian,
seperti runggun adat, kerapatan adat, maka proses penyelesaian
sengketa secara damai sudah terpola menurut adat kebiasaan. Adalah
merupakan pengetahuan umum, tentang tokoh-tokoh yang berpengalaman
dan mampu bertindak sebagai negosiator atau konsiliator atau mediator
yang dapat diminta oleh pihak-pihak yang bersengketa untuk
menyelesaikan persoalan mereka. Di dalam masyarakat yang terbuka,
terlebih lagi yang bersifat global maka lebih dikehendaki adanya
kepastian hukum sehingga adanya UU yang mengatur APSU ini melegakan
karena sudah ada rambu-rambu yang dapat dipergunakan oleh hak
bersengketa. yang memberikan kepastian hukum.
F. PENYELESAIAN SENGKETA
EKONOMI KEUANGAN BERDIMENSI HUKUM PUBLIK
- PANITIA Urusan Piutang Negara (PUPN) / Badan Urusan Piutang dan Lelang Negara (BUPLN), (UU Nomor 49 Frp 1960).
1. Latar belakang
PUPN dibentuk dengan UU
Nomor 49 Prp 1960 jo Keppres Nomor 21 Tahun 1991. Dengan Keppres itu,
kedudukan PUPN diperkuat yaitu disamping mengurus piutang negara juga
diberi wewenang melelang benda jaminan. Karena itu lembaga ini
disebut dengan PUPN/BPUPLN.
Pertimbangan untuk
memberi wewenang itu kepada PUPN/BPUPLN, berdasarkan
sejarahnya adalah antara
lain sebagai berikut :
- Bahwa untuk kepentingan keuangan Negara, utang kepada Negara atau badan- badan, baik yang langsung maupun tidak langsung dikuasai oleh Negara, perlu segera diurus;
- ii. Bahwa peraturan-peraturan biasa tidak memungkinkan untuk memperoleh yang cepat dalam mengurus piutang Negara;
- Bahwa oleh karena “keadaan memaksa”, soal tersebut diatur dengan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang;
- Bahwa "keadaan memaksa" itu dilatarbelakangi adanya piutang negara yang macet yang berasal dari keuangan Negara dalam masa pembangunan nasional.
Tugas PUPN/BPUPLN ialah
untuk mengurus piutang Negara atau utang kepada Negara yang besarnya
pasti menurut hukum. Utang kepada Negara adalah jumlah uang yang
wajib dibayar kepada Negara atau badan-badan yang baik secara
langsung maupun yang tidak langsung dikuasai oleh Negara berdasarkan
suatu peraturan atau perjanjian atau sebab apapun.
2. Definisi Piutang
Negara dan Pada Negara
Yang dimaksud dengan
piutang negara dan utang pada negara menurut Penjelasan Ps 8 UU Nomor
49 Prp 1960 adalah sebagai berikut:
- Terutang kepada negara dan oleh karena itu harus dibayar kepada pemerintah pusat ataupun pemerintah daerah.
- ii. Terutang kepada badan-badan yang umumnya kekayaan dan modalnya sebagian atau seluruhnya milik negara antara lain BUMN termasuk bank pemerintah dan BUMD termasuk bank pemerintah daerah.
Instansi-instansi
Pemerintah dan badan-badan Negara wajib menyerahkan pengurusan
piutang negara kepada PUPN yang adanya dan besarnya telah pasti
menurut hukum akan tetapi debitur atau penanggung utang tidak
melunasi utangnya sebagaimana mestinya.
3. Mekanisme Pengurusan
Piutang Negara
Mekanisme pengurusan ini
berlangsung dalam wewenang sebagai berikut:
- Menerbitkan Surat pernyataan Bersama yang berkepala / memakai irah-irah "Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa" persis seperti putusan hakim, dan oleh karenanya berkekuatan sama dengan putusan hakim dalam suatu perkara perdata yang berkekuatan hukum tetap. Oleh karena itu Surat Pernyataan Bersama ini adalah merupakan pernyataan pengakuan utang yang mempunyai kekuatan pembuktian yang sempurna (valledig bewijs) dan kekuatan memaksa (dwingend bewijs).
- Menertibkan Surat Paksa yang berkepala "Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa". Surat paksa itu juga memuat nama debitur / penanggung utang kepada negara, alasan-alasan yang menjadi dasar penagihan serta perintah untuk membayar. Surat paksa mempunyai kekuatan yang sama seperti grosse dari putusan hakim dalam perkara perdata yang tidak dapat dimintakan banding lagi pada hakim atasan. Dengan demikian surat paksa tersebut mempunyai kekuatan eksekutorial.
- PUPN berwenang untuk melakukan sita eksekutorial, melakukan pelelangan (parate eksekusi) dan berwenang untuk memerintahkan agar terhadap penanggung/penjamin hutang dicekat disandera atau dilakukan paksa badan.
Apabila pengurusan
piutang negara macet yang dilaksanakan oleh PUPN/BPUPLN telah sampai
pada tingkat akhir yaitu penyitaan terhadap barang jaminan dan
diterbitkannya Surat Perintah Penjualan Barang Sitaan (SPPBS), namun
debitur tetap tidak bisa menyelesaikan utangnya maka sebagai
alternatif terakhir adalah melakukan penjualan atas barang jaminan
utang milik debitur / penanggung utang melalui lelang.
4. Analisa
Diatas telah dikemukakan
bahwa pertimbangan untuk membentuk PUPN/BPUPLN ini adalah keadaan
memaksa dengan pengertian terjadinya kemacetan penagihan piutang.
Kemacetan pembayaran utang kepada negara atau instansi dan Badan
badan seluruhnya atau sebagian milik negara ini, berawal antara lain
dari perjanjian.
Di dalam perjanjian
terdapat sejumlah asas, yaitu:
- Kebebasan kehendak yang bertanggungjawab (Kontracteervrijheid);
- Asas keseimbangan;
- Asas konsensualisme;
- Asas persamaan;
- Asas kekuatan mengikat;
- Asas kepercayaan;
- Asas kepastian hukum;
- Asas moral dan kepatutan.
Perjanjian yang diikat
antara para pihak terikat pada asas-asas tersebut diatasDidalam
perkembangannya terjadi pergeseran terhadap asas-asas itu. Adanya
kemacetan penagihan piutang oleh instansi Pemerintah, Badan Usaha
Milik Negara. Pemerintah berdasarkan peraturan tertentu mengubah
karakter perjanjian itu dimana kedudukan kreditor yang semula "sama"
(nebengeordnet) dengan debitor, dalam hubungan perdata, dirubah
menjadi hubungan publik. Kedudukan kreditor tidak lagi sama, akan
tetapi kreditor lebih tinggi dari debitor (untergeordnet). Didalam
penyelesaian
sengketa. kedudukan
instansi Pemerintah, Badan Usaha Milik Negara diidentikkan
(disamakan) dengan Pemerintah walaupun modal BUMN terpisah dari
Anggaran Biaya dan Belanja Negara. Dalam posisi demikian kesepakatan
tidak lagi menjadi asas, akan tetapi yang menjadi asas adalah
kekuasaan.
Menurut Penulis,
seyogyanya pemerintah wajib mengawasi dengan sungguh-sungguh
pejabat-pejabat yang ditunjuknya baik di dalam instansi, Badan Usaha
Milik Negara yang bertindak di dalam bidang keperdataan memperhatikan
asas good corporate governance. Pemerintah perlu memberikan sanksi
kepada pimpinan instansi. Badan Usaha Milik Negara, yang didalam
kegiatan yang dilakukannya menimbulkan kerugian. Supaya berhasil
menagih piutangnya, Pemerintah tidak perlu menerapkan hak publik.
Didalam mekanisme
penagihan piutang oleh PUPN/BPUPLN, Pemerintah mempergunakan
kekuasaannya membentuk "Kesepakatan Bersama", diberi
irah-irah "Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa",
Surat Paksa, hak parate
Dilihat dari sistem
seyogyanya penyelesaiannya dilakukan melalui Arbitrase atau APS atau
denganlitigasi. Kegiatan yang semula bersifat keperdataan, pada akhir
bersifat hukum publik yang nota bene mengandung unsur paksaan.
Disamping itu, kedudukan PUPN/BPUPLN ini diberi sifat sebagai
pengadilan semu. Lembaga ini mempunyai dua karakter yaitu sebagai
wakil dari kreditor dan sekaligus pengadilan.
- Badan Penyehatan Perbankan Nasional (UU Perbankan Nomor 10 Tahun 1998 jo. PP Nomor 17 Tahun 1999)
1. Latar Belakang
Pada permulaan tahun
1991, beberapa negara Asia mengalami krisis devisa perbankan, moneter
dan perekonomian pada umumnya yaitu Jepang, Korea, Pilipina, Thailand
dan Malaysia yang dimulai dengan menurunnya bahkan jatuhnya kurs mata
uang negara-negara tersebut terhadap dolar Amerika Serikat. Penurunan
ini menyebabkan kesulitan bagi perusahaan bahkan perbankan yang
mempunyai kewajjban atau utang dalam valuta asing karena berarti
jumlah utangnya makin besar. Apabila perusahaan atau perbankan
tersebut tidak memiliki aktiva (aset) berupa valuta asing yang
seimbang maka perusahaan atau perbankan tersebut akan mengalami
kesulitan.
Selain investor asing
yang menanamkan dana di Indonesia, banyak pula pihak swasta nasional
yang membiayai usahanya dengan pinjaman luar negeri baik jangka
panjang, menengah dan pendek, tentunya dalam mata uang asing. Keadaan
krisis di negara-negara Asia akhirnya menular ke Indonesia dimana
kurs rupiah terhadap dolar Amerika menurun terus walaupun Pemerintah
dan Bank Indonesia telah melebarkan "band" kurs beberapa
kali. Hal ini terjadi karena kemudian banyak investor yang menarik
kembali dana valuta asing dari perusahaan dan bank. Selain itu,
banyak pula para deposan rupiah yang menarik dana untuk dikonversi
kedalam valuta asing. Hal ini tentu saja menimbulkan permintaan
pembelian valuta asing yang besar (Over-demand).
Pemerintah
mempertimbangkan bahwa kalau keadaan tersebut berlangsung terus maka
akan dapat menguras cadangan devisa yang sudah menipis dan pada
akhirnya akan mengancam posisi Indonesia dalam menjaga likuiditas
internasional. Oleh karena itu pada tanggal 14 Agustus 1997
diputuskan Pemerintah untuk melepaskan kontrol kurs devisa dengan
sistem "mengambang bebas" (free floating). Sejak saat itu
kurs rupiah terhadap dolar Amerika menurun terus bahkan pada Januari
1998 kurs dolar pernah mencapai Rp. 16.000.,- (Enam belas ribu
rupiah) lebih. Akibat dari krisis ekonomi keuangan ini maka terjadi
rush di perbankan karena hilangnya kepercayaan masyarakat terhadap
perbankan. Untuk mengatasi keadaan ini maka Pemerintah mengambil
langkah dengan memberikan jaminan terhadap kewajiban pembayaran pada
bank umum (Keppres Nomor 26 Tahun 1998). Sebagai pelaksanaan jaminan
Pemerintah terhadap kewajiban pembayaran bank dan dalam rangka
pengawasan, pembinaan dan upaya penyehatan bank, dibentuklah Badan
Penyehatan Perbankan Nasional atau BPPN (Keppres Nomor 27 Tahun
1998).
Pertimbangan dari
pembentukan badan khusus ini adalah sebagai berikut:
- Bahwa pembangunan nasional merupakan upaya pembangunan yang berkesinambungan dalam rangka mewujudkan masyarakat Indonesia yang adil dan makmur berdasarkan Pancasila dan UUD 1945;
- Bahwa dalam menghadapi perkembangan perekonomian nasional yang senantiasa bergerak cepat, kompetitif dan terintegrasi dengan tantangan yang semakin kompleks serta sistem keuangan yang semakin maju, diperlukan penyesuaian kebijakandi bidang ekonomi, termasuk perbankan;
- Bahwa dalam memasuki era globalisasi dan dengan telah diratifikasinya beberapa perjanjian internasional ,dibidang perdagangan barang dan jasa diperlukan penyesuaian terhadap peraturan perundang-undangan dibidang perekonomian, khususnya sektor perbankan;
- Bahwa berdasarkan pertimbangan tersebut pada huruf a,huruf b,dan huruf c diatas dipandang perlu mengubah UU Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan dengan UU Nomor 10 Tahun 1998.
2. Wewenang BPPN
UU Nomor 10 Tahun 1998
menambahkan ke dalam UU Perbankan Nomor 1 Tahun 1992 ketentuan yang
penting untuk menyelesaikan sengketa bidang ekonomi dan keuangan
yaitu Ps. 37 A. Wewenang badan khusus (BPPN) ini merupakan wewenang
publik.
Ketentuan yang relevan
dalam hal ini adalah wewenang yang diberikan UU Nomor 10 tahun 1998
sebagai berikut:
- Mengambil alih dan menjalankan segala hak dan wewenang pemegang saham termasuk hak dan wewenang rapat Rapat Umum Pemegang Saham; ii. Mengambil alih dan melaksanakan segala hak dan wewenang direksi dan komisaris bank;
- Menguasai, mengelola, dan melakukan tindakan kepemilikan atas kekayaan milik yang menjadi hak bank, termasuk kekayaan bank yang berada pada pihak manapun, baik di dalam maupun di luar negeri ;
- Meninjau ulang membatalkan, mengakhiri dan/atau mengubah kontrak yang mengikat bank dengan pihak ketiga, yang menurut pertimbangan badan khusus merugikan bank;
- Menjual atau mengalihkan kekayaan bank, direksi, komisaris. dan pemegang saham tertentu, di dalam negeri atau pun di luar negeri, baik secara langsung maupun melalui penawaran umum;
- Menjual atau mengalihkan tagihan bank dan/atau menyerahkan pengelolaannya kepada pihak lain tanpa memerlukan persetujuan nasabah debitur;
- Mengalihkanpengelolaan kekayaan dan/atau manajemen bank kepada pihak lain; viii. Melakukan penyertaan modal sementara pada bank, secara langsung atau melalui konversi tagihan badan khusus menjadi penyertaan modal pada bank;
- Melakukan pengosongan atas tanah dan/atau bangunan milik atau yang menjadi hak bank yang dikuasai pihak lain, baik sendiri maupun dengan bantuan alat negara penegak hukum yang berwenang;
- Menghitung dan menetapkan kerugian yang dialami bank dalam program penyehatan dan membebankan kerugian tersebut kepada modal bank yang bersangkutan dan bilamana kerugian tersebut terjadi karena kesalahan atau kelalaian direksi/komisaris dan/atau pemegang saham maka kerugian tersebut akan dibebankan kepada yang bersangkutan.
Di dalam Keppres No. 27
Tahun 1998 disebutkan lagi tugas BPPN antara lain sebagai berikut:
- Meminta bank dalam penyehatan serta direksi, komisaris dan pemegang saham menandatangani segala bentuk dokumen yang bersifat mengikat yang diperlukan guna keperluan penyehatan bank yang dimaksud, dan menjamin pengembalian jaminan baik yang akan, sedang atau telah dicairkan;
- Dalam hal BPPN menilai bank dalam penyehatan tidak dapat disehatkan kembali, BPPN melakukan pengamanan dan penyelamatan kekayaan bank yang bersangkutan;
- Menguasai, menjual, mengalihkan, dan atau melakukan tindakan lain yang seluas-luasnya atas suatu hak kekayaan milik bank yang berada pada pihak ketiga di dalam maupun di luar negeri;
- Meminta kepada pemegang saham yang terbukti ikut serta baik secara langsung maupun tidak langsung menyebabkan timbulnya kerugian bank untuk sepenuhnya bertanggungjawab atas kerugian tersebut sesuai dengan perundang-undangan yang berlaku.
3. Mediasi Berdimensi
Hukum Publik
Untuk membantu proses
percepatan usaha restrukturisasi utang swasta dibentuklah Satuan
Tugas Prakarsa Jakarta (STPJ). STPJ ini dalam melakukan tugasnya
sebagai mediator adalah untuk memperjuangkan kepentingan Pemerintah
dan karena itu berdimensi hukum publik. STPJ berperan sebagai:
- Mediator antara para debitor dan kreditor dalam negosiasi restrukturisasi utang;
- Fasilitator dalam pemberian kemudahan di bidang tertentu (regulatory incentive) dalam rangka restrukturisasi utang.
STPJ melaksanakan
tugasnya berdasarkan suatu kerangka kerja yang disebut "Mediasi
Terstruktur" yaitu suatu proses dengan suatu batasan waktu yang
telah disepakati.
STPJ dilengkapi dengan
suatu sistem sanksi (stick) dan insentif (carrot) yaitu suatu sistem
yang digunakan untuk mempercepat tercapainya suatu kesepakatan
restrukturisasi utang. Sistem sanksi diberikan apabila pihak yang
terdaftar dikategorikan sebagai tidak kooperatif. Apabila pihak
debitor tidak kooperatif, maka hal itu dapat diajukan kepada
Kejaksaan Agung untuk proses kepailitan.
Mediasi dapat dikatakan
sebagai pilihan penyelesaian masalah di luar pengadilan yang dipilih
sebagai opsi dari Pemerintah untuk memaksimalkan pengembalian uang
Negara.
4. Analisa
Penyelesaian sengketa
bidang ekonomi dan keuangan terjadi antara debitor dan kreditor
(Negara atau badan-badan secara langsung maupun tidak langsung yang
modalnya berasal dari Negara). Pada saat perjanjian-perjanjian
diadakan diantara kedua belab pihak maka perjanjian itu murni tunduk
pada hukum perjanjian yang diatur didalam KUHPerdata.
Perjanjian-perjanjian tersebut tunduk pada asas-asas, antara lain,
asas Pacta Sunt Servanda, asas kebebasan mengadakan perjanjian, asas
keseimbangan, asas persamaan, asas itikad baik. Perjanjian yang sudah
mempunyai kekuatan mengikat tidak boleh dirubah secara sepihak
kecuali jika ada alasan yang ditentukan oleh undang-undang.
Didalam perjalanan waktu
terjadi perubahan keadaan yaitu ksisis ekonomi/keuangan yang dapat
mengakibatkan ekonomi Negara menjadi runtuh. Karena itu untuk
mengatasinya kepada kreditur (BPPN) diberikan wewenang khusus
(publik). Berdasarkan wewenang itu BPPN merubah perjanjian semula
menjadi perjanjian bentuk baru seperti MSAA, MRNIA dan PKPS-PU.
Wewenang yang diberikan undang-undang kepada BPPN itu melanggar
sistem yang berlaku. Pertanyaannya ialah sejauh mana pelanggaran
sistem itu dapat dibenarkan.
III. Badan Pengawas
Pasar Modal (Bapepam), (UU Nomor 8 Tahun 1995)
1. Wewenang Bapepam
UU Nomor 8 Tahun 1995 (UU
Pasar Modal) memberikan tugas kepada Bapepam, antara lain untuk
membina, mengatur dan mengawasi kegiatan sehari-hari Pasar Modal yang
bertujuan untuk mewujudkan terciptanya kegiatan Pasar modal yang
teratur wajar dan efisien serta melindungi kepentingan pemodal dan
masyarakat.
Untuk melaksanakan
tugasnya, kepada Bapepam diberi wewenang untuk, antara lain,
melakukan pemeriksaan terhadap setiap Emiten atau Perusahaan Publik,
mengumumkan hasil pemeriksaan, membekukan pencatatan suatu Efek,
menghentikan transaksi bursa atas Efek, melakukan tindakan yang
diperlukan untuk mencegah kerugian masyarakat sebagai akibat
pelanggaran atas ketentuan di bidang Pasar Modal.
Bapepam bertanggung jawab
kepada Menteri Keuangan.
Bapepam dapat mengadakan
pemeriksaan terhadap setiap pihak yang diduga melakukan atau terlibat
dalam pelanggaran terhadap UU Pasar Modal dan peraturan
pelaksanaannya. Disamping ltu Bapepam diberi juga wewenang untuk
melakukan penyidikan jika pelanggaran terhadap UU ini dan/atau
peraturan pelaksanaannya mengakibatkan kerugian bagi kepentingan
Pasar Modal atau masyarakat.
2. Pemberian Wewenang
Administratif
Bapepam mengenakan sanksi
administratif atas pelanggaran UU ini dan/atau peraturan
pelaksanaannya yang dilakukan oleh setiap pihak yang memperoleh izin,
persetujuan atau pendaftaran dari Bapepam. Sanksi administratif itu
dapat berupa :
- peringatan tertulis;
- denda;
- pembatasan, pembekuan dan pencabutan kegiatan usaha;
- pembatalan persetujuan;
- pembatatan pendaftaran.
3. Analisa
Di dalam UU Pasar Modal,
kepada Bapepam diberikan wewenang sebagai pejabat dengan wewenang
hukum publik, yang mencakup bidang administratif dan pidana. Pejabat
Bapepam berwenang melakukan pemeriksaan dan penyidikan menurut
ketentuan hukum acara pidana. Disini kita melihat ada pergeseran dari
ruang lingkup yang semula termasuk dalam disiplin hukum perdata dan
didalam perkembangannya ditambah dengan disiplin hukum administratif
dan hukum pidana. Pertanyaannya adalah sejauh mana batas-batas antar
disiplin hukum itu dapat dipertahankan.
G. KESIMPULAN DAN SARAN
I. Kesimpulan
Untuk kegiatan-kegiatan
dalam bidang ekonomi dan keuangan yang didalamnya terdapat penyertaan
modal Negara dan Negara terancam bahaya, maka jika sengketa yang
terjadi diselesaikan diluar pengadilan (Out of Court Settlement
(OCS)) maka acuannya tidak kepada hukum perdata tetapi mengacu kepada
hukum publik. Untuk memenuhi asas legalitas (rechtsvaardigheid)
diciptakan undang-undang seperti UU PUPN, UU Perbankan dan UU Pasar
Modal. Secara formal hal itu dapat dibenarkan sebagai sesuatu hal
yang sah tetapi secara materiil jika dilihat dari sistem hukum yang
berlaku maka terjadi penerobosan sistem oleh hukum publik terhadap
hukum perdata.
Alasan pembenar itu
didasarkan pada situasi darurat yang membahayakan kepentingan umum.
Dikalangan pakar hukum
timbul pertanyaan apakah keadaan ini merupakan pergeseran dari
disiplin hukum dimana disiplin hukum perdata didominasi oleh hukum
publik. Andaikata pandangan itu dapat diterima maka ada kecenderungan
kekuasaan lebih tinggi derajatnya (kedaulatannya) daripada hukum
sehingga Negara cenderung menjadi negara kekuasaan. Hal ini
bertentangan dengan hak asasi dan demokrasi dan juga bertentangan
dengan UUD 1945 yang menghendaki Negara Indonesia adalah Negara hukum
(rechtsstaat) tidak Negara kekuasaan (machtstaat).
UU yang mengatur
penyelesaian sengketa bidang ekonomi dan keuangan diluar pengadilan,
dengan menggunakan dimensi hukum publik bertujuan untuk mengatasi
keadaan darurat yang jika dibiarkan akan berdampak kepada kepentingan
umum. Oleh karena itu model yang dipergunakan untuk menyelesaikan
sengketa ini dapat dibenarkan, akan tetapi tidak boleh bersifat
permanen dan hanya dapat diterima untuk sementara.
Dalam kaitan ini perlu
dievaluasi UU Nomor 49 Tahun 1960 yang semula bertujuan untuk
sementara tetapi ternyata dijadikan permanen.
Mengenai model yang tepat
untuk mengatasi sengketa di bidang ekonomi dan keuangan ini ada
pertanyaan yang dikemukakan oleh Prof. Dr. Romli Atmasasmita SH.,
LL.M. sebagai berikut
"Bagaimanakah bentuk
kelembagaan penyelesaian di luar pengadilan yang sejalan dengan
asas-asas hukum umum baik dari sisi perlindungan hak-hak dan
kepentingan yang lebih luas termasuk subjek hukum UU atau negara atau
sejalan dengan standar internasional?"
Menurut Penulis kita
harus menjawabnya dengan mencari model yang mengacu kepada sistem
hukum nasional yang mengenal pembedaan (bukan pemisahaan) hukum
perdata dan hukum publik. Pembedaan itu berakar nilai (value) yaitu
hak perseorangan (pribadi) dan hak masyarakat. Interaksi diantara
kedua disiplin ini, bersifat seimbang sesuai dengan filsafat negara
kita. Didalam sistem nasional, kita menganut asas keseimbangan
(tepaselira) antara kepentingan individu dan kepentingan umum.
Soepomo, dalam pidato
inagurasinya di Fakukas Hukum Jakarta tahun 1941 mengemukakan sebagai
berikut:
- Di Indonesia, hukum bertujuan mencapai kepentingan individu yang selaras, serasi dan seimbang dengan kepentingan masyarakat.
- Di barat yang primair adalah individu. Individu terlepas dari masyarakat. Hukum bertujuan untuk mencapai kepentingan individu.
Bahwa manusia diakui dan
diperlakukan sesuai dengan harkat dan martabatnya sebagai mahluk
Tuhan Yang Maha Esa yang sama derajatnya, yang sama hak dan kewajiban
asasinya tanpa membeda-bedakan suku, keturunan, agama dan
kepercayaan, jenis kelamin, kedudukan sosial, warna kulit dan
sebagainya. Karena itu dikembangkan sikap saling mencintai sesama
manusia, sikap tenggang rasa "tepo seliro" serta sikap
tidak semena-mena terhadap orang lain.
II. Saran
- Keberadaan kita dipersimpangan jalan, yang menghadapi krisis ekonomi dan memasuki gerbang globalisasi, tidak berarti kita harus memilih, apakah kita pergi kekanan atau kekiri. Kebijakan Pemerintah untuk mengatasi keadaan ini harus mengacu kepada sistem. Tanpa sistem hukum akan runtuh.
- Dalam hal terjadi keadaan darurat yang mengancam kepentingan umum maka terhadap sistem itu dapat diadakan penyesuaian (justifikasi) yang berlaku sepanjang keadaan membutuhkan (sementara) dan tidak permanen. Jika keadaan pulih, maka sistem harus dikembalikan lagi kekeadaan semula, yaitu sengketa itu diselesaikan di forum Arbitrase atau APS.
- Untuk mengatasi membesarnya kerugian negara perlu dikemukakan pandangan Prof. Dr. Romli Atmasasmita SH., LL.M. sebagai berikut:
"Perlu di kembangkan
model penyelesaian OCS baru yaitu dengan memasukkan lembaga
penyelesaian "injunction". Melalui lembaga ini maka
kerugian (material maupun immaterial) yang lebih besar lagi akan
dapat dicegah jika proses penyelesaian melalui sanksi administratif,
perdata atau pidana tetap berjalan sesuai dengan UU yang berlaku.
Putusan Pengadilan yang memerintahkan penghentian proses penyelesaian
yang sedang berlangsung dan dilaksanakan, oleh pejabat keuangan atau
perbankan sebagai penyidik PPNS dapat mencegah terjadinya kerugian
bagi pihak-pihak yang terlibat dalam kasus tersebut, apakah Negara
sebagai pihak maupun stakeholder sebagai pihak.
Dimasukkannya proses
penyelesaian OCS dengan menggunakan injunction sehingga melibatkan
peranan Pengadilan jauh sebelum proses penyelesaian dengan UU
dilaksanakan atau selama berlangsungnya proses penyelesaian. Model
penyelesaian OCS plus (penulis.sic!) tersebut akan membuka lembaran
baru dalam sistem hukum dan sistem peradilan di Indonesia yaitu
proses penyelesaian dalam kasus keuangan dan perbankan melalui
mekanisme injunction - adminisratif - (injunction) - perdata
(injunction) pidana (injunction)
Penulis mendukung konsep
tersebut.
- Dari Pengalaman dan pengamatan Penulis pada umumnya para ahli hukum kurang memperhatikan nilai-nilai yang terkandung di dalam hukum positif. Para ahli hukum kurang tertarik untuk menguasai nilai abstrak yang memberi pengertian tentang a.l. kebenaran dan keadilan. Banyak ahli hukum yang mampu membaca hukum-hukum positif, tetapi tidak mampu menemukan akarnya. Penemuan nilai sangat penting, apalagi menghadapi keadaan yang bergolak dan kompleks. Jika kebijakan hanya didasarkan pada hukum positif tanpa berakar di dalam nilai, maka solusi yang diambiI tidak akan berhasil. Kebenaran dan keadilan hanya ditemukan di dalam nilai, yang harus dicari para penegak hukum dalam tugasnya menegakkan hukum. Hukum adalah refleksi dari nilai masyarakat dan karena itulah pula hukum ditaati. Khususnya bagi diharapkan untuk memupuk kemampuan itu karena Hakim bertugas mencari kebenaran, keadilan yang tersembunyi di dalam hukum positif dan menegakkan hukum.
- Berkaitan dengan wewenang arbitrase, sebaiknya lembaga arbitrase diberi wewenang untuk mengadili sengketa kepailitan, karena kepailitan termasuk ruang lingkup ekonomi-keuangan.
- Keberadaan APS perlu disebarluaskan ke masyarakat dan masyarakat ahli hukum perlu segera mengantisipasinya dengan membentuk Indonesian Mediation Center.
Demikianlah kertas kerja
ini disampaikan, semoga bermanfaat dan atas perhatian hadirin
diucapkan terima kasih.
Bali, 16 Juli 2003
Prof. Dr. Mariam Darus.
S.H.
KEPUSTAKAAN
- Mantayborbir SH., M.H., et al. Pengurusan Piutang Negara Macet pada PUPN/BPUPLN, Pustaka Bangsa Press, 2001
- ---------. Hukum piutang dan lelang negara di Indonesia.
- Mariam Darus, S.H., Prof. Dr. et al., Kompilasi Hukum Perikatan, Citra Aditya Bakti, 2001
- ---------. Perjanjian Kredit Bank, Alumni, 1978
- ---------. Aneka Hukum Bisnis, Alumni, 1994
- Pusat Pengkajian Hukum & Mahkamah Agung. Perjanjian-Perjanjian Dalam Rangka Restrukturisasi, Lokakarya Terbatas, Juli 2002
- Remy Sjahdeini. S.H., Prof. Dr. Hukum Kepailitan, Pustaka Utama Grafiti, 2002
- Romli Atmasasmita. S.H., LL.M., Prof. Dr. Pengantar Hukum Kejahatan Bisnis, Prenada Media. 2003
Tidak ada komentar:
Posting Komentar