TITIK SINGGUNG HAK
TANGGUNGAN ATAS
TANAH DENGAN HUKUM
PERWAKAFAN
Oleh : Suhartono, S.Ag.,
SH., MH.
(Hakim PA Martapura)
Abstrak
“Sedumuk bathuk,
senyari bumi, utahing ludiro, yen perlu ditohi pati”. Ungkapan Jawa
ini hanya untuk menggambarkan begitu urgennya masalah pertanahan
dalam kehidupan manusia. Untuk mempertahankan tanah yang dimiliki
tidak saja darah yang menjadi taruhannya, nyawapun siap untuk
dikorbankan. Persoalan di agraria Indonesia pasca kolonial hingga
sekarang mengalami dinamika konflik agraria yang cukup varian dalam
berbagai konteksnya baik konsiderasi filosofis
maupun konsiderasi
sosial.
Di dalam pasal 4 ayat (1)
UU No. 5 tahun 1960 tentang Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) diatur
mengenai adanya macam-macam hak atas permukaan bumi yang disebut
tanah. Hak atas tanah itu dapat diberikan kepada dan dipunyai oleh
orang-orang baik sendiri-sendiri maupun bersama-sama dengan orang
lain serta badan hukum. Hak-hak tersebut juga memberi kewenangan
untuk menggunakan tanah yang bersangkutan untuk kepentingan yang
berhubungan langsung dengan tanah (ayat (2) pasal 4).
Dua hal penting yang
perlu dikemukakan dalam pembahasan ini adalah subtansi dari Pasal 25
dan Pasal 49 ayat (3) UUPA. Persoalan hukumnya tidak begitu
terlihat, manakala masing-masing hak tanggungan atas tanah dan
perwakafan tanah milik dijalankan secara terpisah. Baru akan muncul
persoalan hukum apabila hak tanggungan atas tanah berkait dengan
tanah wakaf. Oleh karena itu maka pertanyaan pokok untuk pembahasan
tulisan ini adalah dapatkah tanah wakaf menjadi obyek hak
tanggungan.
Kanta Kunci : Titik
singgung, hak tanggungan, tanah wakaf,
perwakafan.
A. Pendahuluan
Pasal 25 UUPA yang
menyatakan bahwa hak milik dapat dijadikan jaminan hutang dengan
dibebani hak tanggungan. Pengaturan lebih lanjut mengenai hak
tanggungan ini di muat di dalam UU No. 4 Tahun 1996 tentang Hak
Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-benda yang Berkaitan Dengan Tanah
(UU Hak Tanggungan), dan mulai berlaku sejak tanggal 9 April 1996;
Pasal 49 Ayat (3) UUPA
yang menyatakan bahwa perwakafan tanah milik dilindungi dan diatur
dengan Peraturan Pemerintah (PP); untuk memenuhi permintaan ayat (3)
pasal 49 UUPA itu, pengaturan lebih lanjutnya dimuat di dalam PP No.
28 Tahun 1977 tentang Perwakafan Tanah Milik.
Sebagaimana telah
dikemukakan di atas, bahwa sepintas pasal-pasal ini tidak menampakkan
Persoalan hukum, namun ketika masing-masing hak tanggungan atas
tanah dan perwakafan tanah milik dijalankan secara terpisah, maka
disini baru akan muncul persoalan hukum apabila hak tanggungan atas
tanah berkait dengan tanah wakaf.
B. KONSIDERASI FILOSOFIS
DAN KONSIDERASI YURIDIS
Konsiderasi filosofis
pengaturan hak tanggungan atas tanah didasarkan pada :
- Bertambah meningkatnya pembangunan nasional membutuhkan dana yang cukup besar;
- Perlunya lembaga hak jaminan yang kuat dan mampu memberi kepastian hukum bagi pihak yang berkepentingan;
- Meningkatkan partisipasi masyarakat dalam pembangunan.
Pada konsiderasi
filosofis meletakkan wakaf tanah milik sebagai pengembangan
kehidupan keagamaan khususnya bagi umat Islam dalam rangka mencapai
kesejahteraan spiritual dan material.
Dari kedua konsiderasi
terdapat perbedaan yang mendasar dalam konsiderasi sosialnya. Bagi
hak tanggungan atas tanah hanya dimaksudkan untuk memperoleh jaminan
kepastian hukum bagi apresiasi modal usaha dan dengan demikian hanya
untuk revitalisasi material dunia usaha. Target akhir dari seluruh
relevansi hak tanggungan terletak pada bagaimana ia menjadi
instrument pendukung pusat keuntungan. Perwakafan tanah milik
dimaksudkan yang utama untuk kepastian bagi diperolehnya jaminan
spiritual yang transendental dan pada saat yang sama bermanfaat bagi
kepentingan dalam interaksi ekonomi sosial keagamaan.
Dalam konsiderasi
yuridis, hak tanggungan atas tanah sangat besar kemungkinan
terjadinya transaksi atau pengalihan pemilikan tatkala terjadi
wanprestasi dari yang diperjanjikan.
Sementara itu, tanah
wakaf dilarang untuk ditransaksikan atau dialihkan ke status yang
lain. Dilihat dari hubungan hukum kepemilikan, maka terdapat hubungan
hukum kepemilikan atas tanah yang bersangkutan, sekalipun telah
menjadi obyek hak tanggungan akibat rangkaian dari persyaratan
perolehan hutang. Apabila debitur wanprestasi dan mekanisme
perkreditan itu berujung pada eksekusi hak tanggungan melalui
penjualan atau pelelangan sesuai dengan yang diperjanjikan, maka
barulah hubungan hukum kepemilikan atas tanah tersebut putus.
Dalam perwakafan tanah
milik sejak, sejak pemilik tanah itu mengikrarkan bahwa tanah
tersebut diwakafkan di hadapan PPAIW kepada Nadzir, serta sesaat
sesudah itu dibuatkan Akta Ikrar Wakaf dan pengesahan Nadzir, maka
terputuslah hubungan hukum kepemilikan wakif (pemilik asalnya) atas
tanah tersebut.
Akibat hukum dari proses
demikian adalah :
- Wakif tidak mempunyai hak hukum untuk melakukan perbuatan hukum apapun di atas tanah wakaf;
- Harta warisan almarhum wakif adalah seluruh harta peninggalan dikurangi dengan harta yang diwakafkan tadi, dengan demikian maka harta yang telah diwakafkan bukan lagi berstatus harta warisan, sehingga putus pula hubungan hukum ahli waris dengan tanah yang diwakafkan pewaris.
B. Komparasi Implementasi
Yuridis
Hak tanggunggan atas
tanah beserta benda-benda yang berkaitan dengan tanah adalah hak
jaminan yang dibebankan pada hak atas tanah untuk pelunasan hutang
tertentu yang memberikan kedudukan yang diutamakan kepada kreditor
tertentu terhadap kreditur lain (ayat (1) pasal 1 UUPA).
Sementara itu, wakaf
adalah perbuatan hukum seseorang atau badan hukum yang memisahkan
sebagian dari harta kekayaannya yang berupa tanah milik dan
melembagakannya selama-lamanya untuk kepentingan peribadatan atau
keperluan umum lainnya sesuai dengan ajaran Islam. Dari kedua konsep
normative itu terlihat bahwa hak tanggungan dimaksudkan untuk jaminan
bagi terlunasinya hutang tatkala debitur wanprestasi atas kewajiban
hukum membayar hutangnya. Sedangkan wakaf adalah bukan untuk maksud
tertentu dalam kaitannya dengan hutang, tetapi untuk
kepentingan wakif secara
transendental kepada Allah SWT., dan obyek wakaf selama-lamanya
dimanfaatkan untuk kepentingan peribadatan dan umat Islam. Dari sana
tidak terlihat peluangsedikitpun untuk dapat menjadi obyek hak
tanggungan.
Di dalam bab II UU No. 4
tahun 1996 dinyatakan bahwa yang dapat menjadi obyek hak tanggungan
atas tanah adalah :
- Hak atas tanah yang dapat dibebani hak tanggungan adalah Hak Milik (HM), Hak Guna Usaha (HGU), Hak Guna Bangunan (HGB), dan juga Hak Pakai atas tanah negara;
- Hak tanggungan dapat pula dibebankan pada hak atas tanah berikut bangunan, tanaman, dan hasil karya yang telah ada atau akan merupakan satu kesatuan dengan tanah tersebut;
- Suatu obyek hak tanggungan dapat dibebani dengan lebih dari satu hak tanggungan.
Sementara itu, tanah yang
dapat diwakafkan adalah tanah milik atau yang berstatus hak milik.
Dan apabila dikomparasikan kedua konsep normative itu, maka ternyata
status tanah yang telah diwakafkan menjadi tanah wakaf dengan akibat
bahwa hak milik yang melekat sebelum menjadi tanah wakaf menjadi
hapus. Oleh karena itu pada tanah yang diwakafkan berubah dan
selama-lamanya hanya berstatus tanah wakaf. Jika dikaitkan dengan
obyek hak tanggungan atas tanah yang disebutkan di atas tadi, maka
tanah wakaf tidak terkait sedikitpun dengan hak apa saja yang dapat
menjadi obyek hak tanggungan.
Bukti yuridis dari telah
terjadinya perbuatan hukum mewakafkan tanah milik diberikan dala
bentuk Akta Ikrar Wakaf yang dikeluarkan oleh Pejabat Pembuat Akta
Ikrar Wakaf (PPAIW). Dan ikrar wakaf tadi tidak dapat dicabut dan
dihapus kecuali oleh putusan Pengadilan Agama dengan alasan yang
dibenarkan oleh hukum Islam.
Sebaliknya, hak
tanggungan atas tanah dibuktikan dengan sertifikat hak tanggungan
akan tercabut atau hapus apabila :
Hapusnya hutang
yang dijamin dengan hak tanggungan;
Dilepaskannya hak
tanggungan oleh pemegang hak tanggungan;
Pembersihan hak
tanggungan berdasarkan penetapan Ketua Pengadilan Negeri, dan;
Hapusnya hak atas
tanah yang dibebani hak tanggungan.
C. Pengalihan Hak
Tanggungan dan Tanah Wakaf
Di dalam pasal 16 UU No.
4 Tahun 1996, bahwa peralihan hak atas tanah yang dibebani dengan hak
tanggungan, seperti karena warisan atau sebab-sebab lain, maka hak
tanggungan itu ikut beralih. Beralihnya hak tanggungan itu mulai
berlaku bagi pihak ketiga pada hari dan tanggal pencatatannya di
Kantor Pertanahan. Dalam hal perubahan status tanah wakaf, di dalam
PP No. 28 Tahun 1977 disebutkan bahwa :
- Pada dasarnya terhadap tanah milik yang telah diwakafkan tidak dapat dilakukan perubahan peruntukan atau penggunaan lain daripada yang dimaksudkan dalam ikrar wakaf; perubahan yang dimaksud di sini adalah perubahan penggunaan dari tujuan wakaf seperti dari untuk pendidikan Islam menjadi tempat pembangunan masjid;
- Penyimpangan itu dapat dilakukan dengan persetujuan Menteri Agama karena dalam kenyatannya penggunaan wakaf tidak sesuai dengan yang diikrarkan, dan untuk kepentingan umum. Dari sini terlihat bahwa perubahan itu hanya penggunaan tanah wakaf, bukan sama sekali pada status tanah wakaf itu sendiri.
Dalam hal adanya bangunan
di atas tanah wakaf karena perjanjian mudharabah, maka bangunan
tersebut berstatus dan terikat dengan perjanjian mudharabah dan tidak
turut terikat oleh status tanah wakaf. Dengan perkataan lain
perjanjian mudharabah pada bangunan tersebut pada saatnya dapat habis
masa berlaku dan kekuatan hukumnya. Hal itulah yang menjadi halangan
normative mengapa bangunan mudharabah di atas tanah wakaf tidak dapat
menjadi obyek hak tanggungan.
D. Penutup
Dari pembahasan di atas,
dapat dilihat bahwa hak tanggungan atas tanah dan tanah wakaf adalah
dua hal yang berseberangan secara horizontal yang tidak dapat
ditumpangkan oleh yang satu pada yang lainnya. Dikatakan horizontal
karena kedua lembaga hukum itu meletakkan persoalan dasarnya pada
tanah. Sekalipun berada pada obyek yang sama namun tujuan dan
kemanfaatannya berseberangan. Apabila dipaksakan dengan menempatkan
hak tanggungan pada tanah wakaf, maka akan terjadi kerusakan pada
skrup hukumnya karena hak atas tanah yang menjadi obyek hak
tanggungan tidak terdapat pada tanah wakaf. Satu kemungkinan yang
dekat antara keduanya adalah
mengenai bangunan di atas
tanah wakaf. Pada tanah wakaf dapat terjadi perjanjian mudharabah
dalam hal pemanfaatan sebagian tanah wakaf dimaksud untuk memperoleh
dana untuk pembiayaan tujuan wakaf seperti untuk biaya
penyelenggaraan pendidikan Islam. Namun demikian, hak tanggungan
tidak diletakkan pada bangunan tersebut, oleh karena itu syarat yang
harus dipenuhi oleh bangunan itu ialah adanya hak atas tanah yang
menjadi obyek hak tanggungan yang di dalam pernyataan itu harus
terbukti bahwa tanah dan bangunan di atasnya berada pada satu hukum
yang sama.
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah, Abdul Gani.
1991. Himpunan Perundang-undangan dan Peraturan Peradilan Agama.
Jakarta: Intermasa.
Gunanegara. 1998.
Prinsip-prinsip Pertanahan Islam dalam Hukum Land Reform Indonesia
(makalah seminar yang diselenggarakan oleh program Pascasarjana
UNMUH Jakarta), Jakarta: tidak diterbitkan.
Nurdin, Hj. Sri Yanti.
1998. Eksekusi Hak Tanggungan Atas Tanah (makalah seminar yang
diselenggarakan oleh Program Pascasarjana Universitas Jayabaya).
Jakarta: tidak diterbitkan.
Undang-Undang No. 5 Tahun
1960 tentang Undang-Undang Pokok Agraria.
Undang-Undang No. 4 Tahun
1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah beserta Benda-benda yang
Berkaitan Dengan Tanah.
Peraturan Pemerintah No.
28 Tahun 1977 tentang Perwakafan Tanah Milik.
Undang-Undang No. 41
Tahun 2004 tentang Wakaf
Tidak ada komentar:
Posting Komentar